Sejumlah pihak, meminta agar publik tidak termakan dengan opini yang beredar terkait kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Sebab, opini yang berkembang, terutama di sosial media, dianggap lebih logis dibandingkan penyampaian resmi dari aparat kepolisian. Terlebih, isu yang berkembang di media masa adalah tentang motif perselingkuhan, yang notabene akan memberikan dampak psikologis yang buruk bagi perempuan.
"Hold your opinion, ini bisa persekusi! Jangan terjebak perangkap ilusi kebenaran, kenapa persekusi? Karena narasi-narasi alternatif yang muncul di luar versi kepolisian juga belum berdasarkan fakta ilmiah, ini baru opini tanpa data," ucap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba) Vici Sofianna Putera, kepada wartawan.
Vici meminta publik bisa menahan Opini atau membangun narasi yang pada akhirnya memojokkan perempuan terhadap peristiwa tewasnya anggota Brimob itu. Sebab, opini atau narasi lain yang tidak resmi, akan bisa menjadi alat persekusi kepada para pihak yang terlibat dalam kasus tewasnya Brigadir J, termasuk sosok PC.
Ia juga mengkritisi, narasi konspirasi dari akun-akun di media sosial dalam kasus tewasnya Brigadir J, akan menggiring opini publik, dan kemudian menjadi sebuah aksi kolektif berupa penghakiman publik kepada keluarga dan terutama PC.
Menurutnya, publik harus bisa memisahkan apa yang faktual dan sensasional. Individu dalam memisahkan kedua hal tersebut dibutuhkan kemampuan berpikir jernih dan kritis.
"Mereka ingin penjelasan dan mereka ingin tahu yang sebenarnya, tetapi mereka juga ingin merasa yakin akan 'kebenaran' itu," sambungnya
Ia mewanti-wanti, dalam era politik post-truth sekarang ini, fenomena umum opini masyarakat tentang isu-isu sosial lebih banyak dibentuk oleh berita palsu, termasuk hoax dan rumor, dibandingkan dengan bukti dan data yang reliabel.
"Karena bukan hanya publik secara umum yang terpengaruh dengan berita bohong ataupun pemikiran konspiratif yang sangat renyah, tapi para penyidik dan timsus di lapangan bisa menjadi tidak objektif dalam menangani kasus ini. Khawatir terpapar informasi di media sosial, penyidik dan timsus bisa menjadi bias dalam bekerja dan mengambil keputusan semata untuk memuaskan keinginan publik. Jangan sampai kasus ini menjadi sebuah paradoks bagi penegakan hukum di Indonesia. Biarkan para penyidik dan timsus bekerja karena timsus ini terdiri dari pihak eksternal yang kredibel seperti Komnas HAM," tegas Vici.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: