Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Polemik Kebijakan Pembatasan PLTS Atap oleh PLN, Pengamat: Harus Segera Dicabut!

Polemik Kebijakan Pembatasan PLTS Atap oleh PLN, Pengamat: Harus Segera Dicabut! Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut kebijakan PT PLN (Persero) terkait pembatasan pengguanan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap tidak memiliki dasar teknis.

"Pembatasan instalasi PLTS Atap yang dilakukan PLN tidak memiliki dasar teknis," ujar Fabby saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Kamis (11/8/2022).

Fabby mengarakan, motivasi daripada PLN adalah melindungi pendapatan dan monopoli penyediaan tenaga listrik, meskipun dampak dari pengurangan penerimaan dari 1 GigaWat (GW) PLTS Atap terhadap penerimaan PLN sangat kecil yaitu di bawah 0,2 persen.

Baca Juga: PLN Batasi Penggunaan PLTS Atap, Bagaimana dengan Target NZE 2060?

Lanjutnya, pembatasan ini juga mempersulit pemerintah mencapai target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025. Dengan kapasitas pembangkit energi terbarukan saat ini yang baru mencapai 10 GW, masih diperlukan 13-14 GW pembangkit energi terbarukan hingga 2025. 

"Sementara itu, RUPTL PLN hanya merencanakan pembangkit ET beroperasi 10 GW di 2025. Ini pun kalau seluruhnya bisa terbangun tepat waktu. Kekurangan ini bisa dikejar oleh PLTS, khususnya PLTS Atap. Sebagaimana yang direncanakan pemerintah, program PSN PLTS Atap sebesar 3,6 GW sd 2025," ujarnya.

Fabby melanjutkan, tindakan PLN menjadi penghambat peningkatan PLTS Atap yang dilakukan swadaya oleh masyarakat dan bisnis. Dampaknya adalah PLN mematikan peluang usaha, penciptaan dan penyerapan tenaga kerja, serta memangkas potensi pertumbuhan ekonomi dari investasi PLTS Atap.

Maka dari itu, kebijakan tersebut sudah seharusnya segera dicabut oleh pemerintah ataupun PLN itu sendiri.

"Harus dihentikan karena sebenarnya pembatasan itu tidak ada dasar hukumnya. Perlu segera diakhiri karena sudah berdampak besar," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: