Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dear Pejabat Publik, Terima Gratifikasi Termasuk Tindakan Kriminal Lho

Dear Pejabat Publik, Terima Gratifikasi Termasuk Tindakan Kriminal Lho Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Bandung -

Masyarakat menganggap bahwa gratifikasi adalah hal yang sama dengan korupsi. Padahal, ada perbedaan dalam arti: korupsi itu adalah tindak pidana yang merugikan keuangan negara, sedangkan gratifikasi adalah pemberian suatu barang atau uang terhadap pejabat publik.

Praktisi Hukum, Aang Sirojul Munir menjelaskan, dalam Pasal yang diberi penjelasan itu adalah Pasal gratifikasi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 juncto UU No. 20/2001, yang menyatakan "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya". 

Baca Juga: Kasus Korupsi Dana PEN, Eks Dirjen Kemendagri Dituntut 8 Tahun Penjara

"Gratifikasi itu berawal dari kata grats dalam bahasa Inggris yang berarti terima kasih, maka sebetulnya gratifikasi adalah bentuk kriminalisasi," kata Aang dalam acara FGD Forum Bhayangkara Indonesia di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung, Minggu (18/9/2022).

Kegiatan yang bertemakan "Hukum, Kriminal, dan Kriminalisasi" tersebut digelar dalam menyikapi pemberitaan bebasnya 23 narapidana tipikor di tahun 2022 ini dan kembali berkiprah di berbagai bidang di masyarakat serta stigma masyarakat terkait gratifikasi. Dalam forum ini, para narasumber mengupas mengenai gratifikasi baik dari kacamata hukum maupun fenomena yang ada di masyarakat.

Aang kembali menjelaskan kriminalisasi yang artinya penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu kejahatan menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana. Hal ini karena sebelumnya gratifikasi ini bukan suatu tindak pidana melainkan kebiasaan masyarakat kita untuk berterima kasih dengan memberikan sesuatu yang berbentuk materil.

Namun, ekses dari gratifikasi menjadi bermasalah jika mengganggu performa pelayanan publik yang menjadi kewajibannya. "Inilah yang melandasi gratifikasi menjadi permasalahan dan dilarang demi menjaga akuntabilitas layanan," tegasnya.

Menurutnya, dalam masa peralihan ini tentu tidak mudah dalam menerapannya, bahkan terjadi pula over kriminalisasi, yaitu tindakan kriminalisasi berlebihan yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan.

Aang pun menjelaskan bahwa gratifikasi berbeda dengan suap. Sementara suap, berdasarkan referensi dari Prof. Dr. Pujiono., SH., M.Hum, Guru Besar Fakuktas Hukum Undip, mengatakan, terlebih dahulu ditemukan unsur mens reanya, yaitu meeting mainning atau pertemuan kehendak antara si pemberi dan si penerima dengan catatan si penerima memeliki kewenangan yang akan membantu terjadianya sesuatu yang dikehendaki oleh keduanya atau sesuatu yang tidak dikehendaki pemberi dan penerima karena suap memiliki satu perencanaan untuk menyukseskan satu proyek atau program yang berpotensi merugikan keuangan negara.

"Artinya, antara penerima dan pemberi bertemu merencanakan. Inilah unsur yang harus dipenuhi. Jadi, penerima dan pemberi sama-sama menerima sanksi pidana. Jika penerima menerima sanksi, pemberinya pun demikian," ungkapnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: