Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebijakan DMO dan DPO Berisiko dan Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Kebijakan DMO dan DPO Berisiko dan Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kredit Foto: Antara/Akbar Tado
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO). Selama diterapkan, kebijakan non tariff barrier ini, justru membatasi volume ekspor dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Akademisi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha mengatakan, dampak dari diberlakukannya DMO dan DPO adalah turunnya ekspor produk sawit secara signifikan dan petani sawit mengalami kesulitan menjual tandan buah segar (TBS). Kebijakan ini berisiko karena pemerintah tak memiliki kajian yang lengkap.

“Hal ini, karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan. Sebaiknya kebijakan DMO dan DPO dihapus, karena terbukti inefiensi.  Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat,” kata Eugenia baru-baru ini di Jakarta.

Ketua Tim Peneliti LPEM UI ini menambahkan, pemerintah, sebenarnya dapat menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor (PE)dan bea keluar (BK) untuk mengendalikan volume ekspor Crude Palm Oil (CPO).  

“Hasil pungutan ekspor CPO dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali,” kata Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI ini. 

Dia juga berpendapat, kebijakan DMO tidak dapat menurunkan harga minyak goreng, namun justru akan menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi. 

“Kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional. Naiknya migor juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan,” jelanya.

Dalam penelitian LPEM UI 2022, Eugenia mengungkapkan penghentian ekspor 28 April – 22 Mei 2022 telah menurunkan Product Domestic Bruto (PDB) pada Q2 2022 sebesar 3%.  

Padahal pemerintah telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2022 adalah sebesar 5.45%. Apabila tidak ada penghentian ekspor, maka PDB triwulan II 2022 diperkirakan sebesar 3.009 triliun rupiah atau pertumbuhan ekonomi adalah 8.5%.  

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menegaskan, gonta-ganti  kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah selain sulit dijalankan juga terbukti menurunkan pertumbuhan ekonomi. 

Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO juga menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama. 

Tungkot juga menyarankan, agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi antara PE dan BK. Kebijakan ini lebih menjamin  hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.  

"Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar. Kalau harga CPO stabil, pungutan ekspor bisa  baru diturunkan pelan-pelan," katanya.  

Tungkot sependapat bahwa kebijakan DMO dan DPO tidak diperlukan lagi di Indonesia. Langkah pemerintah mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dengan melarang ekspor CPO merupakan kebijakan yang tidak tepat dan keliru.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: