Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Preseden dari Negara Lain, Keluarga Mantan Presiden Ditahan atau dalam Proses Investigasi

Oleh: Diaz Priantara, Ak, BKP, CA, CPA, CICA, CCSA, CRMA, CFSA, CIA, CFE

Preseden dari Negara Lain, Keluarga Mantan Presiden Ditahan atau dalam Proses Investigasi Kredit Foto: Antara/REUTERS/Carlos Barria
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ada berita menarik yang dibagikan The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) pekan lalu. Berita pertama berasal dari Honduras, negara yang berada di Amerika Tengah. Mantan ibu negaranya dituduh atau diduga keras berulangkali menyalahgunakan dana yang dialokasikan untuk program sosial bagi anak-anak miskin sebesar US$590,000 (ekivalen Rp8,85 milyar). Mantan Ibu Negara menggunakan dana tersebut untuk pembayaran tagihan kartu kredit pribadinya, biaya sekolah anak-anaknya dan pembangunan real estate. Bahkan menurut Reuters, tanggal 21 September 2022, Mantan Ibu Negara Rosa Elena Bonilla, istri dari mantan Presiden Honduras, Porfirio Lobo, telah dijatuhi vonis 14 tahun penjara. Rosa Bonilla tentu mengajukan banding atas vonis tersebut. Uniknya, Rosa Bonilla telah divonis 58 tahun pada persidangan sebelumnya, namun vonis itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung di awal tahun 2020 dan Mahkamah Agung memerintahkan pengadilan ulang atas perkara ini. Pengadilan ulang atas Bonilla menghukum mantan Ibu Negara itu 14 tahun penjara. 

Baca Juga: Bukti Apa yang Didapat KPK dari Kasus Korupsi Perkara di MA?

Berita kedua berasal dari Amerika Serikat. Menurut Reuters, mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan anak-anaknya Donald Trump Jr., Eric Trump, dan Ivanka Trump dituntut oleh Jaksa Agung Negara Bagian New York Letitia James atas berbagai perbuatan fraud dan penyajian informasi yang salah pada Laporan Keuangan dan Laporan Tahunan selama 2011-2021. Uniknya, Jaksa Agung selama lebih dari tiga tahun telah melakukan penyelidikan terhadap praktik bisnis mantan presiden AS itu. Penyajian laporan keuangan Donald Trump yang sengaja dibikin salah berupa mark up atas kekayaan bersih Trump yang kemudian digunakan untuk pengajuan pinjaman ke Bank dengan syarat-syarat kredit yang menguntungkan Trump. Jaksa Agung New York menuduh Trump memperkaya dirinya dan mengakali atau memperdayai sistem. Praktik penyajian informasi secara salah dilakukan berulang-ulang dan terus menerus. Praktik tersebut dibantu anak-anaknya Trump dan eksekutif di Trump Organization.

Berkaca dari negara lain dapat diambil pelajaran bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum. Meskipun penyelidikan atau investigasi dan penuntutannya dilakukan setelah kedua Presiden tidak lagi menjabat atau berkuasa, namun penegakan hukum atas pelanggaran hukum kepada eks penguasa dilakukan. Mungkin, setelah Presiden tidak lagi berkuasa maka upaya investigasi dan penuntutan, bahkan keputusan hakim, menjadi bebas dan objektif.

Pada praktik investigasi fraud, dibutuhkan tata kelola untuk pemberantasan fraud (termasuk korupsi) yang kuat dan efektif. Efektif bilamana tata kelola tersebut diimplemtasi dan dipatuhi. Kuat bilamana menyentuh keadilan dan memiliki proses atau prosedur yang dapat dipercaya publik dan pihak-pihak yang mengamati tata kelola itu. Seringkali seperti menegakkan benang basah jika terduga pelakunya adalah Presiden Direktur atau Direktur atau anggota Dewan Komisaris atau Pejabat yang berkuasa, apalagi pejabat yang justru memiliki kekuasaan membuat dan menerapkan tata kelola dan kewenangan hokum. Tidak aneh jika muncul kesimpulan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Dampaknya adalah apatisme dan membiarkan praktik fruad, mengimitasi praktik fraud atasan dan menjadi rasionalisasi perbuatan fraud, suburnya kolusi, nepotisme, dan konflik kepentingan, kohesivitas kriminal dan menjadi budaya kriminal. Kita juga biasa mendengar aji mumpung berkuasa. Mungkin itulah yang dilakukan oleh Ibu Negara Honduras.

Tanggung jawab tata kelola untuk pemberantasan fraud dengan membangun budaya jujur atau beritegiritas, struktur dan proses tata kelola yang baik dan tulus yang mencegah kolusi, nepotisme, dan konflik kepentingan adalah tanggung jawab pimpinan puncak organisasi. Di Amerika Serikat, tanggung jawab tata kelola yang baik dan tulus berada pada Board. Tentu berbeda dengan Indonesia yang menerapkan Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perseroan Terbatas atau menerapkan bentuk lain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Negara juga termasuk organisasi yang wajib membuat dan menerapkan budaya jujur atau beritegiritas, struktur dan proses tata kelola yang baik dan tulus yang mencegah kolusi, nepotisme, dan konflik kepentingan. 

Baca Juga: Terlilit Korupsi, Wanita Emas Berbohong Sakit Sebelum Dijemput Paksa Kejaksaan

Jangankan untuk melakukan fraud yang tidak rumit seperti penyalahgunaan dana sosial untuk orang miskin atau penyajian informasi yang mengelabui, Pimpinan organisasi mampu mengabaikan aturan yang ada, menekan bawahan, membuat atau mengubah aturan dan kebijakan yang tidak menguntungkannya menjadi menguntungkan dirinya atau pihak yang terkait dengannya. Pimpinan yang baik wajib meninggalkan warisan yang baik, Jangan sampai setelah berkuasa, menemui nasib seperti di Honduras dan Amerika Serikat atau Presiden negara-negara lain yang melarikan diri atau dipenjara karena korupsi. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati mestinya meninggalkan karya yang bermanfaat bagi penerusnya, bukan meninggalkan kerusakan seperti fraud, korupsi, kolusi, nepotisme.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Bagikan Artikel: