Ia turut menjelaskan bagaimana hanya dalam empat tahun pascareformasi, UUD 1945 empat kali dilakukan amandemen. Aksi ini dinilai Try makin turut membuat sirna tujuan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi bangsa dan negara sesuai Pancasila. Era reformasi juga memang memberikan prakondisi untuk nilai asing bersentuhan lebih sering dengan ke dalam tubuh bangsa.
“Menghadapi situasi ini, ada dua pilihan: diam saja, kehilangan jati diri; atau bangkit untuk memperkuat kembali jati diri. Di sinilah arti penting pendidikan, dan penggemblengan generasi penerus bangsa menghadapi tantangan masa depan. Bagaimana dapat diisi wawasan kebangsaan, perjuangan, dan kebudayaan,” sambung Try.
Ketua DPD RI AA Lanyalla M. Mattalitti juga menyuarakan hal serupa. “Pada era reformasi, penghayatan Pancasila harus kembali diperkenalkan dengan metode yang terkini. Menurut Ki Hajar Dewantara, anak-anak didik ini sangat perlu diajar ihwal kebangsaan dan nasionalisme,” kata Lanyalla yang juga menjadi pembicara kunci dalam seminar.
Usai para pembicara kunci memberi pemaparan, digelar pula diskusi panel dengan pembicara mantan anggota DPR dan MPR RI Yoseph Umarhadi, Peneliti Puskakum FH-UI dan Dosen Tetap FH-UI Bono Budi Priambodo, dan Yu Un Oppusunggu, serta pendiri dan Ketua Yayasan Tirta Amarta Paripurna Muhamad Iqbal. Dalam diskusi panel tersebut, para pembicara sepakat soal pentingnya penghayatan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila masih sangat relevan dan tak lekang oleh zaman.
Selain itu, turut pula dipaparkan hasil Survei Nasional terkait Pancasila yang dilakukan Puskakum FH-UI. Kris Wijoyo Soepandji, peneliti Puskakum FH-UI dan Dosen Tetap FH-UI ini memaparkan hasil survei yang membedah apakah Pancasila masih diakui sebagai landasan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, serta menjadi pedoman dalam menjaga kepribadian nasional. Dalam temuan survei, Kris memaparkan bahwa masyarakat memang makin minim frekuensinya untuk mendengar kata-kata Pancasila.
“Sebanyak 56% mayoritas responden hanya mendengar Pancasila pada bulan tertentu, seperti Hari Lahir Pancasila pada Juni, atau Hari Kemerdekaan Indonesia pada Agustus. Meski demikian, 90% responden menyatakan bahwa Pancasila masih sangat relevan sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal yang juga menarik dari survei ini adalah temuan yang menyampaikan bahwa sebanyak 98% lebih responden percaya bahwa pemimpin di Indonesia perlu memegang teguh nilai-nilai Pancasila. Masyarakat sangat mendambakan pemimpin Indonesia yang mampu merefleksikan berbagai kebijakan dan prosesnya sesuai dengan nilai- nilai Pancasila melalui peraturan yang mengedepankan keadilan dan mengutamakan kepentingan rakyat. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan tidak lepasnya posisi para pembuat kebijakan dari berbagai pengaruh dan tekanan eksternal. Lebih daripada itu masyarakat tetap mendambakan pemimpin yang mampu mengambil sikap yang bijaksana dalam proses pengambilan keputusan-keputusannya.
Harapan mayoritas masyarakat terhadap Pemimpin yang Pancasilais juga dikonfirmasi melalui temuan yang menyebutkan bahwa sebanyak 90% responden menolak adanya intervensi asing terhadap kebijakan pemerintah Indonesia,” papar Kris.
Hasil survei ini turut menunjukkan bahwa Pancasila sejatinya masih dapat menjadi pijar bagi Indonesia ditengah perjuangannya menjadi pemimpin di kancah global. Sehingga perlu satu padu dalam pengembangan Pancasila sebagai cakrawala dalam pertumbuhan ilmu hukum, salah satunya melalui kajian-kajian baru oleh para mahasiswa Fakultas Hukum. Melalui upaya ini nilai-nilai Pancasila tidak akan tertinggal dan makin terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga tercermin dalam proses penyusunan kebijakan para pemimpin negara sebagai tauladan masyarakat luas.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: