Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bagaimana Kedudukan Kuasa Wajib Pajak Pasca Terbitnya UU HPP Tahun 2021?

Oleh: Djohan Arianto, KPP Wajib Pajak Besar Tiga, Direktorat Jenderal Pajak Penyuluh Pajak Ahli Madya

Bagaimana Kedudukan Kuasa Wajib Pajak Pasca Terbitnya UU HPP Tahun 2021? Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bagaimana kedudukan Kuasa Wajib Pajak pasca terbitnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)? Pertanyaan ini menjadi perhatian karena kedudukan Kuasa Wajib Pajak khususnya aturan pelaksanaannya masih perlu dipertegas disamping fungsi Kuasa Wajib Pajak yang strategis membantu atau mewakili kepentingan Wajib Pajak saat melaksanakan kewajiban perpajakannya karena saat ini diakui masih banyak masyarakat yang belum memahami dengan baik ketentuan perpajakan padahal menyangkut kewajiban yang mengikat warga negara dan memiliki konsekuensi hukum apabila tidak dilaksanakan secara benar apakah itu sanksi berupa denda bunga, kenaikan dll.

Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) di UU HPP mengatur mengenai Kuasa Wajib pajak pada Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) yaitu :

Baca Juga: Jumlah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Bertambah Satu, Setoran PMSE Telah Mencapai Rp9,17 Triliun!

1. Ayat (3), Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Ayat (3a), Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua.

Dibandingkan dengan KUP sebelumnya yang pada ayat (3a) bahwa persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, kini persyaratan Kuasa Wajib Pajak harus mempunyai kompetensi tertentu maupun pengecualiannya.

Pengertian lebih lanjut mengenai Kuasa Wajib Pajak dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) bahwa :

1. Wajib Pajak diberikan kelonggaran untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak diberikan kelonggaran dan kesempatan untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Yang dimaksud dengan kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.

2. Untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan, seorang kuasa yang ditunjuk oleh Wajib Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Kompetensi tertentu antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, kuasa dapat dilakukan oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.

Ketentuan turunan terkait Pasal tersebut adalah dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanah Pasal 44E ayat (2) huruf e bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) serta kompetensi tertentu yang harus dimiliki seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur hal tersebut saat ini adalah PMK-229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa Wajib Pajak bahwa :

1. Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

2. Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. konsultan pajak; dan

b. karyawan Wajib Pajak

Seorang kuasa yang hanya meliputi Konsultan Pajak dan Karyawan Wajib Pajak pada tahun 2017 sesuai pertimbangan hakim konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT MK-63/2017 untuk mencabut ketentuan yang membatasi bagi Wajib Pajak dalam menunjuk seseorang atau pihak lain untuk menjadi Kuasa-nya, serta membatasi kesempatan seseorang atau pihak lain untuk dapat menjadi Kuasa WP. Pendelegasian kewenangan mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa melalui Peraturan Menteri Keuangan hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif.

Sesuai amanah Pasal 44E ayat (2) huruf e KUP UU HPP bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) serta kompetensi tertentu yang harus dimiliki seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) akan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal dilakukan perubahan PMK-229/PMK.03/2014 akan menampung perubahan ketentuan baik di PUT MK-63/2017, perubahan di KUP UU HPP maupun cakupan pelaksanaannya.

Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian yaitu:

1. Pertimbangan Hakim Konstitusi di PUT MK-63/2017 bahwa pendelegasian kewenangan mengenai“syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif. Pengaturan yang bersifat substantif (pembatasan hak warga negara, dalam hal ini Wajib Pajak dan seseorang memenuhi kriteria kompetensi Kuasa WP) tidak diperkenankan diatur di dalam sebuah Peraturan Menteri Keuangan. Oleh karena itu, dengan mengacu kepada amanah Put MK-63/2017 tersebut di atas, maka Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf e UU HPP hanyalah sebatas pada teknis administratif (tata cara) semata; sedangkan materi pengaturan yang bersifat substantif tetap tidak dapat diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan. Apabila membaca ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU HPP, dapat dipahami bahwa batasan mengenai seorang Kuasa WPtelah diatur secara lebih jelas, yaitu seseorang yang “memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan”, yaitu antara lain seseorang yang :

a. telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu

b. telah lulus sertifikasi; dan/atau

c. telah mendapatkan pembinaan yang diberikan oleh asosiasi atau telah mendapatkan pembinaan yang diberikan oleh Kementerian Keuangan.

2.Pengaturan persyaratan/kriteria memiliki “kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan” pada ketentuan Pasal 32 ayat (3a) KUP UU HPP agar tidak membatasi kesempatan/hak kepada Wajib Pajak untuk menunjuk seseorang untuk menjadi Kuasa-nya dan juga memberikan kesempatan/hak kepada seseorang sepanjang memenuhi ketiga kriteria/persyaratan kompetensi menerima penunjukkan Wajib Pajak menjadi Kuasa-nya. Pengaturan bahwa seorang kuasa meliputi konsultan pajak dan karyawan Wajib Pajak pada Pasal 2 ayat (4) PMK-229/PMK.03/2014 dapat ditinjau kembali agar tidak terjadi perdebatan dalam pelaksanaannya.

3. Ketentuan telah lulus sertifikasi dan mendapatkan pembinaan yang diberikan oleh asosiasi atau telah mendapatkan pembinaan yang diberikan oleh Kementerian Keuangan juga perlu pengaturan yang jelas agar kualitas Kuasa Wajib Pajak dapat terjaga dalam membantu Wajib Pajak menjalankan ketentuan perpajakan secara benar namun tidak membatasi bagi Wajib Pajak dalam menunjuk seseorang atau pihak lain untuk menjadi Kuasa-nya sebagai diamanahkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi nomor PUT MK-63/2017.

4. Selain hal di atas penting juga diperhatikan cakupan Kuasa Waijb Pajak sampai sejauh mana ketentuan tersebut dilaksanakan. Sampai saat ini belum diatur secara tegas apakah Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh seorang kuasa juga berlaku untuk UU mengenai PPh, PPN, Bea Meterai, Kepabeanan, Cukai maupun UU mengenai PDRD yang meliputi pula BPHTB dan PBB Pedesaan dan Perkotaan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan yang bersifat teknis administratif perlu juga ditegaskan bahwa ketentuan mengenai Kuasa WP berlaku bagi pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yang meliputi tidak hanya hak dan kewajiban Wajib Pajak di bidang Pajak Penghasilan (“PPh”) dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (“PPn BM”) tapi juga Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“PDRD”), Pajak Bumi dan Bangunan (“PBB”), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (“BPHTB”) serta Bea dan Cukai.

Baca Juga: Hingga Triwulan III/ 2022, Kinerja Penerimaan Perpajakan di Sumut Capai Rp28,54 T

Demikian beberapa hal yang perlu untuk menjadi perhatian dalam hal akan dilakukan pengaturan kembali terkait Kuasa Wajib Pajak sesuai amanah UU HPP sehingga dapat menampung perkembangan yang terjadi selama ini. Kedudukan Kuasa Wajib Pajak diharapkan semakin dapat memberikan manfaat bagi Wajib Pajak dalam mebantu meningkatkan kepatuhan dan menjalankan kewajiban perpajakan secara benar dan disisi lain ketentuan Kuasa Wajib Pajak dapat menjadi pegangan bagi Petugas Pajak dalam melaksanakan tugasnya dengan baik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Bagikan Artikel: