Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Waspada! Dunia Menuju Krisis Baru, Bagaimana Nasib Indonesia?

Waspada! Dunia Menuju Krisis Baru, Bagaimana Nasib Indonesia? Kredit Foto: Fajar Sulaiman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tahun 2023 diramalkan banyak pihak akan menjadi tahun dengan kondisi ekonomi global yang semakin bergejolak. Selain ancaman resesi, tingginya inflasi, hingga pengetatan likuiditas semakin memojokkan ekonomi banyak negara menuju pelemahan.

Dalam kondisi terburuk, Bank Dunia bahkan meramal perekonomian global akan menyusut hingga 1,9% poin menjadi 0,5% pada 2023. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga menyatakan bahwa melambatnya ekonomi global terutama akan terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Bahkan, probabilitas terjadinya resesi di AS sudah mendekati 60 persen, demikian juga di Eropa. Pemicu utama dari kondisi ekonomi AS dan Eropa adalah tingginya harga energi dan bahan makanan, serta kebijakan moneter yang diambil akan semakin ketat. Dibanding dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya, seperti yang terjadi pada 1998 dan 2008, durasi, sebaran dan keparahan krisis ekonomi 2023 berisiko lebih lama dan akut. Baca Juga: BI Prediksi Ekonomi Global Tahun Depan Bakal Tumbuh Lebih Rendah dari 2022

"Kami mengkhawatirkan saat ini sebetulnya, dunia mengarah pada suatu krisis baru. Krisisnya nanti apakah sebaran, kemudian kedalaman atau keparahan, dan durasi, kemungkinan besar ini lebih luas, lebih dalam dan lebih lama," kata Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, di Jakarta, Rabu (30/11/2022).

Menurut Budi, pertumbuhan ekonomi telah kehilangan momentum akibat Covid-19 yang kemudian diperparah perang Rusia-Ukraina serta perang dagang AS – China yang meningkatkan risiko utang negara miskin dan potensi krisis pangan di sejumlah kawasan. Pengaruh berbagai cost-push factors paska pandemi yang pelik terutama terkait upah, gangguan rantai pasok, lonjakan biaya energi dan pangan mempersulit upaya bank sentral mengendalikan inflasi. Kebijakan pengetatan lanjutan berisiko memicu stagflasi global.

"Capital market sudah mengantisipasi ya. Jadi seperti bursa di Amerika itu sempat anjlok 20 persen lebih. Demikian juga di pasar obligasi sudah naik bahkan melewati inflasi, namun imbal hasil jangka panjang tidak sepesat yang jangka pendek," kata dia.

Budi melanjutkan, perekonomian Indonesia diharapkan dapat bertahan di tengah terpaan badai resesi global dengan ditunjang fundamental kuat. Perekonomian domestik secara umum masih menunjukkan ketahanan dengan ditopang peningkatan permintaan domestik, investasi yang terjaga, dan berlanjutnya kinerja positif ekspor meskipun mulai menunjukkan indikasi pelemahan temporer di September 2022. "Ini harus dijawab, benarkah fundamental Indonesia kuat?" kata dia.

Dia menambahkan, untuk Purchasing Manufactur Index (PMI) Indonesia meneruskan akselerasi di tengah kontraksi dan pelemahan manufaktur di negara-negara besar, seperti Eropa, Tiongkok, dan Korea Selatan. Selain memanfaatkan kenaikan berbagai income commodity (seperti batu bara, nickel, CPO dan karet) yang lebih gegas ketimbang cost commodity (khususnya minyak mentah), program hilirasi sektor minerba memperkuat fundamental perekonomian.

Menurut Budi, tidak hanya surplus neraca berjalan, tetapi juga peningkatan penerimaan pajak yang penting untuk meredam dampak kenaikan harga bahan bakar untuk tidak langsung ditanggung oleh masyarakat yang belum lama menghadapi pandemi. Program re-industrialisasi juga lebih menjanjikan dalam penciptaan kesempatan kerja terampil untuk menaikan pendapatan dan kesejateraan.

"Apa yang terjadi di Inggris itu bisa dijadikan acuan. Bahwa yang krisis berat itu apabila growing old before growing rich 2030," kata dia. Baca Juga: Konsisten Terapkan AKHLAK, Bahana TCW Sukses Himpun Dana Kelolaan Rp 39,48 Triliun

Penerapan “productivity-driven growth” yang lebih luas merupakan perubahan paradigma “From Financing to Paying Growth” yang tercermin pada surplus neraca berjalan dan tingkat industrialisasi. Budi menilai perubahan paradigma di atas mendesak dibudayakan pada level masyarakat melalui transforming from saving to investing society agar memiliki cadangan untuk masa tua.

"Kita cukup yakin, namun ada baiknya kita fokus bukan di resesi ya, tapi di krisis. Jadi krisisnya tuir sebelum tajir," kata Budi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: