Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Social Commerce Diproyeksikan Berkontribusi US$42 Miliar di Pasar E-Commerce Asia Tenggara

Social Commerce Diproyeksikan Berkontribusi US$42 Miliar di Pasar E-Commerce Asia Tenggara Kredit Foto: Unsplash/John Schnobrich
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebuah laporan perdana berjudul Social Commerce in Southeast Asia 2022 tentang pasar perdagangan sosial (social commerce) yang tengah berkembang pesat di Asia Tenggara yang diterbitkan oleh firma intelijen pasar untuk ekonomi online berbasis di Singapura, Cube Asia pada 7 Desember lalu mencatat bahwa social commerce diproyeksikan akan dapat berkontribusi sebesar US$42 miliar di pasar e-commerce Asia Tenggara pada akhir tahun 2022.

Dalam sebuah siaran tertulis yang ditulis Sarabit Singh selaku CEO & Head of Data Cube Asia dan Simon Torring selaku Head of Growth & Client Service Cube Asia menjelaskan adanya empat elemen sosial yang berbeda pada e-commerce yang berkontribusi dalam membentuk porsi pasar social commerce. Di mana masing-masing elemen ini memiliki peluangnya tersendiri. Adapun elemen-elemen tersebut antara lain:

Yang pertama, pada tahun 2022 e-commerce di platform sosial telah berkontribusi sebanyak US$34 miliar ke Asia Tenggara, di mana aspek dorongan terbesar dari penjualan yang berasal dari social commerce dan penjualan yang terjadi di platform sosial ini adalah dipengaruhi oleh aspek sosial dari hubungan manusia, misalnya seperti komunikasi secara real time, originalitas, kepercayaan, dan komunitas.

Baca Juga: Berkat E-Commerce, Kinerja Logistik RI Tumbuh 2,7 Juta Pengiriman dalam Setahun

"Meskipun Facebook dan Instagram memulai lebih awal untuk perdagangan platform sosial, mereka sekarang tertinggal dari TikTok yang sekarang menjadi bintang yang sedang naik daun karena platform-nya menawarkan sejumlah fitur dan solusi khas di ruang [penjualan] ini," terang Singh dan Torring seperti dikutip dalam siaran tertulis pada Kamis (8/12/2022).

Dalam upaya memanfaatkan momentum pertumbuhan dan tren yang terjadi, TikTok juga berhasil melampaui Facebook dan Instagram dengan cara memperkuat platfom e-commerce dengan menawarkan pengiriman gratis dan cashback untuk acara belanja.

TikTok juga memiliki lebih banyak sumber daya dalam mengajari para penjual di platform mereka dibandingkan dengan Meta. Inilah yang membuat TikTok menarik lebih banyak pembeli, di mana data dari hasil survei Cube Asia menunjukkan bahwa 30% pengguna internet Singapura telah melakukan pembelian di TikTok Shop pada tahun 2022.

Yang kedua, conversational commerce telah menyumbang US$12 miliar secara langsung di Asia Tenggara, di mana pelanggan memilih dan membayar langsung produk di aplikasi perpesanan. Perdagangan yang dilakukan lewat aplikasi percakapan ini tentu dapat meningkatkan pengalaman pelanggan sekaligus mendorong lebih banyak transaksi karena memberi menyediakan cara baru bagi pelanggan untuk berbelanja secara online dengan lebih mudah.

Singh dan Torring mencatat bahwa perdagangan percakapan juga secara tidak langsung mentransaksikan volume yang jauh lebih besar dari US$50 miliar melalui web chat dan US$200 miliar untuk transkasi online-to-offline, yang artinya mereka memulai percakapan misal melalui WhatsApp dan menyelesaikan transaksi pembelian secara langsung di toko fisik. Tren social commerce ini menjadi salah satu bentuk tren yang paling menjanjikan dan dinamis di Asia Tenggara apalagi dengan adanya perubahan perilaku masyarakat yang terus berubah.

"Pandemi telah mengubah perilaku konsumen selamanya, mempercepat adopsi produk dan layanan digital secara pesat dan meningkatkan pentingnya e-commerce di seluruh Asia Tenggara. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Cube Asia, perdagangan percakapan diatur untuk memainkan peran yang berkembang di antara pengecer di kawasan ini. Bisnis paling sukses akan mengambil kesempatan untuk memanfaatkan teknologi seperti chatbot AI atau bantuan suara untuk memberikan pengalaman pelanggan yang nyaman dan personal," tutur Florian Zenner selaku SVP Sprinklr untuk APAC & Jepang.

Ketiga, Penjualan Belanja Langsung di Asia Tenggara telah tumbuh lebih dari 10 kali lipat menjadi US$13 miliar pada tahun 2022, di mana berdasarkan laporan dari Cube Asia, sebanyak 44% dari pengguna internet yang disurvei di wilayah ini telah berpartisipasi dalam belanja langsung selama setahun terakhir ini.

Sistem belanja langsung ini merupakan ekosistem yang terfragmentasi dengan tiga kategori penjual langsung, yaitu penjual independen, influencer, dan pengecer, yang dilakukan dalam tiga jenis platform, antara lain media sosial, e-commerce, dan platform asli. Belanja Langsung ini biasanya ditandai dengan penawaran hebat dan diskon besar antara 20-40% yang memengaruhi pembeli untuk menemukan urgensi dalam membeli produk.

Keempat, Community Group Buy yang menjadi kontributor terkecil dalam e-commerce dengan pangsa pasar hanya 2-3% saja di Asia Tenggara. Model pembelian kelompok masyarakat secara garis besar dapat disegmentasi menjadi dua jenis yang dipengaruhi oleh dinamika komunitas atau kelompok, yaitu model Price-Led dengan orang yang secara organik berkumpul membuka kesepakatan khusus dan model Agent-Led dengan pengecer menyediakan layanan atau nilai tambah bagi anggota grup.

Model community group buy ini berkembang dengan terinspirasi dari Pinduoduo di China dan Meesho di India di mana kemudian banyak startup retail baru mencoba menggunakan dinamika komunitas atau grup untuk mendorong pertumbuhan e-commerce di Asia Tenggara. Sementara sebagian kota di pasar berkembang seperti Indonesia, model ini juga menemukan pijakan di Singapura dengan aplikais perpesanan yang membantu komunitas mengumpulkan permintaan untuk mendapatkan harga yang lebih baik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tri Nurdianti
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: