Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Melihat Peluang Indonesia dalam Sidang Perkara Ekspor Nikel di WTO

Melihat Peluang Indonesia dalam Sidang Perkara Ekspor Nikel di WTO Pekerja mengalirkan cairan feronikel yang sudah lebur di pabrik Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UBPN) Sultra PT Aneka Tambang (ANTAM) di Pomalaa, Kolaka, Sultra, Selasa (8/5). Dengan posisi keuangan cukup solid sebesar Rp6,07 triliun PT ANTAM terus mengembangkan perluasan proyek strategis sehingga total kapasitas terpasang produksi feronikel ANTAM pada akhir 2018 akan meningkat 50 persen dari 27 ribu menjadi 40,5 ribu ton nikel dalam feronikel (TNi). | Kredit Foto: Antara/Asep Fathulrahman

Potensi Kekalahan

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai bahwa Indonesia bisa menerapkan kebijakan pajak ekspor terhadap produk mentah nikel bilamana kalah saat banding di pengadilan World Trade Organization (WTO). 

"Sebenarnya pemerintah misalnya kalah, maka bisa juga menerapkan kebijakan pajak ekspor yang tidak dilarang oleh WTO," ujar Fahmy saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (16/12/2022). 

Menurutnya, dengan menerapkan pajak ekspor tersebut, maka akan dapat meningkatkan nilai jual produk Indonesia dan juga berpotensi menarik investor untuk dapat melakukan hilirsasi di Indonesia

."Jadi kalau nanti kalah, Indonesia bisa menetapkan pajak ekspor sehingga harga nikel yang dijual akan  lebih mahal sehingga barangkali dia akan memilih hilirisasi di Indonesia," ujarnya. 

Fahmy mengatakan, Indonesia juga dapat menerapkan domestik market obligation (DMO) kepada pengusaha yang akan melakukan ekspor bahan mentah nikel ke luar negeri.

"Mengenai jaminan hilirisasi dan industri di dalam negeri itu tetap dapat dilakukan dengan DMO itu seperti yang diberlakukan pada batu bara," ungkapnya.

Lanjutkan Hilirisasi 

Upaya pemerintah untuk melakukan banding atas putusan WTO yang menyatakan Indonesia bersalah atas kebijakan pelarangan ekspor nikel harus dilakukan beriringan dengan hilirisasi.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan Indonesia harus tetap melakukan pelarangan ekspor produk tersebut sebelum adanya keputusan final. 

"Menurut saya sebelum ada keputusan final dari WTO, maka larangan ekspor tetap diberlakukan," ujar Fahmy saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (16/12/2022).

Fahmy mengatakan, hal tersebut harus dilakukan lantaran dengan membentuk ekosistem akan memberikan nilai tambah yang cukup besar jika dibandingkan dengan ekspor bahan mentah nikel. 

Menurutnya, ia meyakini bahwa sejak awal Presiden Joko Widodo sudah menyadari kalau dibawa ke WTO pasti kalah karena larangan ekspor komoditas itu ditetapkan di dalam ketentuan mereka. 

"Yang mestinya tidak boleh karena saya kira Jokowi cukup cermat, jadi tetap dilarang ekspor tadi dengan tujuan untuk memaksa agar penambang nikel untuk melakukan hilirisasi di Indonesia karena kan tidak bisa ekspor dan mau tidak mau dia harus mengolahnya," ujarnya. 

Lanjutnya, tuntutan yang dilakukan oleh Uni Eropa kepada Indonesia di WTO sudah berjalan beberapa tahun sampai dengan adanya putusan, kemudian proses banding juga akan membutuhkan waktu setidaknya dua tahun.

"Taruhlah empat tahun ini dan sekarang saja sudah terbentuk hilirisasi tadi, kemudian industri akan menghasilkan produk-produk turunan termasuk produk yang menjadi bahan baku baterai dan baterainya akan menjadi bahan baku mobil listrik dan sehingga di sini akan terbangun ekosistem dari hulu sampai hilir dalam waktu empat tahun ini," ungkapnya.

Ajakan Investasi 

Gugatan yang dilakukan oleh Uni Eropa atas pelarangan ekspor nikel yang dilakukan oleh Indonesia Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) harusnya tak perlu dilakukan.

Arifin mempertanyakan sikap dari negara Uni Eropa yang dengan teganya menuntut Indonesia di WTO akibat pelarangan ekspor nikel mentah yang dilakukan untuk hilirisasi di dalam negeri.

"Sekarang gini ya kenapa sih sampai begitunya, sementara kan, lihat saja China masuk besar-besar (investasi)," ujar Arifin saat ditemui di Kantor Kementrian ESDM, Jumat (2/12/2022).

Dengan masih besarnya cadangan akan nikel di bumi pertiwi, ia membuka peluang agar negara Uni Eropa dapat masuk untuk berinvestasi di hilirsasi nikel dalam negeri dan dapat membantu masyarakat Indoensia.

"Kita masih banyak kok cadangannya (nikel), kita welcome datang invest sini bikin dong, bantuin rakyat indonesia supaya bisa kerja, masa sih," ujarnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: