Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Cerita Sukses Prof Rhenald Kasali: Pernah Gak Naik Kelas Hingga IPK Hanya 2,5

Cerita Sukses Prof Rhenald Kasali: Pernah Gak Naik Kelas Hingga IPK Hanya 2,5 Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Manusia itu makhluk paradoks, itulah yang disampaikan oleh Prof. Rhenald Kasali bahwasanya dua hal yang bertentangan bisa hidup berdampingan.

Prof Rhenald sendiri sewaktu kecil pernah tidak naik kelas. Orang-orang dulu menganggapnya bodoh, padahal itulah titik awal yang membuatnya menjadi pintar. Prof Rhenald mengakui bahwa dirinya saat kecil sangat nakal, sulit diarahkan, tak mau belajar, dan kenakalan anak-anak lainnya.

Saat tidak naik kelas, hal yang menggerakkan Prof Rhenald adalah saat ia melihat ibunya menangis dan bertanya, "Mau jadi apa kamu, Nak?"

Prof Rhenald langsung melihat keliling rumah dan menyadari, "Oh iya, orang tua saya setengah mati mencari uang."

Baca Juga: Prof Rhenald Kasali: Kewirausahaan Bisa Dipelajari, Tetapi Apakah yang Belajar Akan Lulus?

Di titik itulah Prof Rhenald duduk di kursi paling depan saat sekolah kembali dimulai, dan akhirnya menjadi juara kelas.

Prof Rhenald melanjutkan bahwa orang hebat yang jadi bodoh adalah orang yang tidak bisa menerima tantangan. Saat memasuki dunia kuliah, diri sendiri yang dianggap hebat ternyata jadi mengerdil karena melihat banyaknya orang-orang yang lebih pintar.

Prof Rhenald menuturkan bahwa saat ia kuliah di UI, orang-orang yang pintar tidak mau kalah, tidak mau berbagi catatan, tidak ingin diganggu sehingga siswa yang kurang pintar duduk di belakang.

Prof Rhenald sampai lulus bahkan hanya mendapatkan IPK 2,5 sehingga saat hendak melanjutkan studi ke Amerika Serikat (AS) dengan beasiswa, ia harus menjelaskan secara detail.

Namun, Prof Rhenald malah mendapat nilai yang bagus di AS. Menurutnya, sekolah di AS lebih mudah daripada di Indonesia. Ini karena pengajarnya sangat memotivasi, mengerti materi, melakukan riset mendalam dan sangat mengapresiasi mahasiswanya. Bahkan, ada evaluasi pengajar, pengajar yang baik dipertahankan, yang buruk langsung dikeluarkan. Berbeda di Indonesia, pengajar berkinerja buruk pun masih dipertahankan.

"Karena saya tidak termotivasi. Mengapa dosen saya seperti ini? Titik baliknya adalah ketika saya berada di AS, dosen tersebut adalah pemenang hadiah Nobel, orang terkenal, jurnal hebat, nama penting di Wall Street Journal, dikenal secara internasional, penulis buku top tapi mereka sangat santai," ujar Prof Rhenald.

Sebagaimana diketahui, Prof Rhenald memulai karir sebagai jurnalis. Hal yang mudah ia lakukan setelah akhirnya mendapatkan beasiswa untuk studi ke AS adalah dalam penyusunan skripsi. Karena sering mewawancarai orang, Prof Rhenald mudah mendapatkan narasumber dan memiliki tulisan yang apik. Dahulu, Prof Rhenald tak tertarik di dunia akademisi, ia bahkan tak tahu akan berkarir di bidang apa. Sehingga saat menjadi jurnalis, Prof Rhenald sangat menikmati apa yang ia lakukan.

"Kita harus menjadi maestro untuk diri kita," pungkasnya. "Saya menulis tesis hanya 1 semester sehingga kami lulus di 5 tahun. Jadi, saya lulus bersama dengan siswa pintar dengan IPK tinggi sehingga teman-teman saya berpikir, bahkan sampai sekarang, bahwa saya mendapat IPK tertinggi tetapi sebenarnya tidak. Saya hanya lulus bersama mereka."

Karena itulah, saat krisis moneter tahun 1998, Prof Rhenald membantu kebangkitan ekonomi di daerah-daerah karena ia biasa dipanggil pemerintah untuk kewirausahaan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami

Bagikan Artikel: