Upaya Pemerintah untuk memberikan subsidi kendaraan listrik, baik roda dua maupun roda empat, kepada masyarakat mendapatkan banyak respons, baik itu negatif ataupun positif.
Adapun kebijakan tersebut pertama kali diungkapkan oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Dia menyebutkan bahwa Pemerintah akan memberikan subsidi pada setiap pembelian mobil listrik sebesar Rp80 juta, mobil listrik hybrid Rp40 juta, sepeda motor listrik Rp8 juta, dan konversi motor listrik Rp5 juta.
Adapun tujuan pemberian insentif kendaraan listrik itu untuk memberikan kontribusi pencapaian zero carbon pada 2060. Pasalnya, salah satu penyumbang terbesar carbon dioxide adalah asap kendaraan bermotor yang menggunakan energi fosil. Untuk pengurangan carbon dioxide itu, Pemerintah mendorong migrasi dari kendaraan bermotor fosil ke kendaraan listrik melalui insentif.
Baca Juga: Insentif Kendaraan Listrik Baiknya untuk Transportasi Umum
Adanya insentif ini membuat sejumlah pihak mempertanyakan atas keputusan untuk memberikan kelonggaran kepada orang yang ingin memiliki mobil listrik.
Direktur Utama Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa pihaknya tidak setuju dengan adanya subsidi untuk pembelian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dengan kapasitas empat roda atau mobil.
Menurutnya, hal tersebut tidaklah layak disebut subsidi. Sebab, subdisi itu merupakan bantuan untuk orang kurang mampu. Maka dari itu, kebijakan tersebut lebih tepat disebut dengan namanya insentif.
"Saya tidak menyebut itu subsidi karena subsidi itu adalah bantuan untuk orang kurang mampu, kita pakai namanya insentif. Kami tidak terlalu suka pemberian insentif itu kepada electric four wheeler (mobil)," tegas Fabby dikutip dari akun YouTube IESR, Kamis (29/12/2022).
Fabby menyebut, memang harga mobil listrik masih mahal dan harganya dua kali lipat dari mobil konvensional. Namun sebagaimana diketahui, orang yang membeli kendaraan listrik itu harusnya merupakan golongan yang mampu.
"Saya melihat saatnya belum pas kalau kita ingin memberikan subsidi untuk mobil listrik, bisa saja nanti tapi kalau saat ini dengan mempertimbangkan bahwa kapasitas fiskal kita masih terbatas," ujarnya.
Menurutnya, saat ini Indonesia masih membutuhkan anggaran yang cukup besar untuk mendukung aktivitas lain, salah satunya adalah mendukung transisi energi yang berkeadilan.
Fabby mengatakan, dalam mencapai hal itu bukan hanya dibutuhkan mobil listrik, tetapi juga butuh untuk pengembangan energi terbarukan, untuk memastikan kualitas akses energi, kualitas listrik daerah-daerah tertinggal.
"Saat ini mungkin masih belum sama kualitas listriknya dengan kita yang tinggal di Jawa, kualitas internet yang sangat dibutuhkan apalagi kemarin kira lihat pada masa pandemi anak-anak betapa kesulitannya, jadi prioritas kita masih banyak sehingga menurut saya tidak perlu," ungkapnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Peneliti Climate Policy Unit & Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Novia Xu. Menurutnya, rasanya kurang tepat jika subsidi diterima oleh masyarakat yang sebenarnya mampu membeli.
"Subsidi Rp80juta per mobil itu tergolong tinggi. Data dari Katadata bilang ada sekitar 2.100+ penjualan mobil listrik BEV. Kalau dengan adanya insentif subsidi ini penjualan meningkat 10 persen, maka pemerintah perlu memberikan total subsidi sekitar Rp184 miliar," ujar Novia saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Menurutnya, walaupun terdengar kecil jika dibandingkan dengan total subsidi energi yang sebesar Rp500 triliun, namun jumlahnya signifikan jika digunakan untuk revitalisasi jalur transportasi umum.
"Tidak hanya di Jakarta, tetapi di luar daerah Jakarta. Jadi, harus dipertimbangkan lagi apakah pemberian subsidi Rp80 juta untuk pembelian mobil adalah opsi yang terbaik," ujarnya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dalam bentuk mobil belum mendesak untuk dilaksanakan.
"Sebenarnya subsidi mobil listrik belum urgen, apalagi mobil hybrid yang pakai BBM masih disubsidi. Sebaiknya subsidi dalam bentuk konversi dari mobil tua ke kendaraan listrik atau full EV. Pemerintah nanti kerja sama dengan bengkel konversi," ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Bhima mengatakan, masalah lain terdapat pada besaran subsidi yang perlu ditinjau ulang. Hal tersebut perlu dilakukan karena kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih diperlukan untuk hal lain.
Menurutnya, APBN di tahun 2023 masih butuh anggaran untuk antisipasi resesi, misalnya dana ketahanan pangan naik, begitu juga dengan perlindungan sosial.
"Ruang fiskal makin sempit, terlebih besaran defisit APBN tidak boleh di atas 3 persen," ujarnya.
Lanjutnya, Bhima menyebut subsidi tersebut harusnya diarahkan ke transportasi publik, seperti dengan menambah armada dan konversi bus atau angkutan kota ke baterai.
"Itu lebih berguna bagi masyarakat. Kalau mobil listrik disubsidi khawatir menambah kemacetan terutama di kota kota besar," ungkapnya.
Selain itu, besaran Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) juga penting sebagai kategori subsidi kendaraan listrik. Saat ini banyak mobil dan motor listrik impor, begitu juga suku cadangnya.
"Jangan sampai pemerintah subsidi barang impor pakai uang APBN, itu jelas tidak tepat sasaran. Karena masih lempar wacana, sebaiknya dikaji dulu bentuk subsidi yang ideal tanpa jadi beban APBN sekaligus tepat sasaran ke transisi energi," ucapnya.
Tepat untuk Roda Dua
Fabby menilai bahwa pemberian insentif kepada kendaraan listrik (electrik vehicle/EV) roda dua atau sepeda motor sangatlah tepat untuk dilaksanakan.
"Kami sangat mendukung ide untuk mendorong atau pemberian insentif kepada motor roda dua karena saat ini populasi roda dua itu 120 juta jadi kira-kira hampir 40 persen bahkan sampai separuhnya kalau kita lihat mereka yang orang Indonesia itu punya motor," ujar Fabby dikutip dari akun YouTube IESR, Kamis (29/12/2022).
Fabby mengatakan bahwa motor tak hanya menjadi sarana transportasi, tetapi juga karena keterbatasan infrastruktur transportasi publik dan juga sebagai sumber mata pencaharian.
"Kita lihat saja logistik, share riding dengan ojol itu mereka kerja dan sarananya ada di sana, jadi kalau saya bilang bahwa pemberian insentif untuk motor yang jumlahnya banyak tadi terus kemudian juga sasaranya menengah ke bawah," ujarnya.
Menurutnya, pemberian insentif untuk kendaraan roda dua lebih tepat jika dibandingkan dengan pemberian untuk kendaraan roda empat. Pasalnya, banyak masyarakat yang menggunakan untuk kegiatan produktif.
Fabby menilai hal tersebut rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan, ditambah lagi dengan adanya rencana yang diwacanakan untuk pemberian insentif bagi konversi motor konvensional ke motor listrik, khusunya untuk motor yang relatif usianya tua, mungkin yang usianya diatas 6-7 tahun yang bodynya masih bagus.
"Yang harus diganti mesinnya, tambahin baterai dan lain-lain, itu bisa lebih cepat mendorong penetrasi karena kita ini salah satu tujuannya memangkas konsumsi BBM yang kemudian akan berdampak pada impor BBM dan menurunkan emisi dan polusi jadi kalau kita lihat konsumsi BBM yang dari segmen kendaraan roda dua ini kan cukup besar secara presentase jadi kalau kita ingin 120 juta kita ingin transformasi dengan cepat, jadi kendaraan listrik itu memang harus jor-joran di situ diganti," ungkapnya.
Lanjutnya, hal tersebut memang tidak bisa dilakukan langsung dalam satu tahun, tapi dapat dilaksanakan dalam rentan waktu 10-15 tahun di mana pemerintah juga sudah mempunyai target pada tahun 2030 sebesar 13 juta motor listrik.
Sehingga jika dihitung, untuk mencapai 13 juta tahun pada 2030 setidaknya setiap tahunya harus ada 1 sampai 1,5 juta kendaraan roda dua yang dikonversi hingga tahun tersebut.
"Ini kalau baru terlalu mahal tapi kalau konversi dengn beli 5 juta itu mungkin bisa lebih cepat, jadi ini yang menurut saya menimbang mengenai prioritas ynag lain, keterbatasan fiskal kemudian manfaat sasaran dan motor itu jauh lebih tepat ketimbang mobil dan benar tadi juga saya kira kita mendukung public transport, bus listrik, moda kecil yang di perkotaan itu juga bisa digantikan dengan listrik, dan kalau yang ini bisa dilakukan makanya mendorong bisa menyelesaikan banyak permasalahan termasuk urusan kemacetan, urusan polusi udara bisa dikurangi, tidak hanya penurunan konsumsi BBM," tutupnya.
Sependapat dengan Fabby, Novia Xu juga menilai kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) tepat jika diberikan kepada kendaraan roda dua.
Pasalnya, secara infrastruktur lebih mendukung untuk penggunaan motor, dalam artian pengisian daya untuk motor bisa dilakukan di rumah.
"Tidak perlu banyak investasi untuk stasiun pengisian ulang listrik," ujar Novia saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Novia mengatakan bahwa subsidi akan lebih tepat sasaran untuk masyarakat berekonomi menengah ke bawah, dibandingkan dengan masyarakat berekonomi menengah ke atas yang membeli mobil listrik. Motor listrik pun banyak digunakan untuk mencari penghasilan sekarang.
Menurutnya, insentif diberikan untuk mengurangi penggunaan mobil pribadi di jalanan yang dapat mengurangi kepadatan atau kemacetan.
"Industri kendaraan listrik Indonesia masih sangat terbatas untuk mobil, masih lebih memungkinkan motor listrik, jadi lebih bisa untuk mengembangkan industri dalam negeri jika fokus pada motor dan bukan mobil," ungkapnya.
Meningkatkan Populasi Kendaraan Listrik
Direktur eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai kebijakan pemerintah dengan memberikan subsidi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) sangatlah bagus untuk meningkatkan populasi EV di Indonesia.
Menurutnya, tindakan pemerintah dengan memberikan subsidi adalah upaya untuk menarik masyarakat agar tertarik dan membeli kendaraan listrik, baik roda dua maupun roda empat baik.
"Dan kendaraan baru maupun juga kendaraan roda dua yang dikonversi dari BBM menjadi kendaraan listrik. Buat saya ini sangat bagus sekali dan jika program ini berhasil ke depannya," ujar Mamit saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Mamit mengatakan, kebijakan tersebut bagus untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Pasalnya, kendaraan merupakan kontributor kedua terbesar yang menyumbang emisi gas rumah kaca.
Kedua, adanya program ini dapat berdampak terhadap masyarakat akan mulai tertarik dan nantinya populasinya meningkat, maka konsumsi listrik akan terus mengalami peningkatan.
"Di tengah kondisi saat ini yang memang dalam kondisi yang cukup banyak tersedia pasokan listrik kita," ujarnya.
Kemudian program ini juga akan meringankan masyarakat yang akan membeli kendaraan listrik, baik roda dua maupun roda empat.
"Ataupun masyarakat yang mau konversi dari kendaraan roda dua yang berbasis minyak ke berbasis listrik," ungkapnya.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai pemberian insentif kendaraan listrik merupakan bagian tidak terpisahkan dalam pembentukan ecosystem industry Nikel-Baterai-Mobil Listrik, utamanya dalam menciptakan pasar (market creation).
"Insentif itu untuk menekan harga kendaraan listrik, yang saat ini harga masih mahal, sehingga harga terjangkau. Harapannya, konsumen akan migrasi ke kendaraan listrik," ucapnya.
Lanjutnya, untuk menciptakan pasar kendaraam listrik, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 7/2022 tentang Pengunaan Kendaraan Bermotor listrik berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas bagi pejabat Pemerintah Pusat dan Daerah.
"Berhubung pasar kendaraan dinas tidak begitu besar, penciptaan pasar kendaraan listrik perlu diperluas pada konsumen perorangan melalui pemberian subsidi bagi setiap pembelian kendaraan listrik," ujar Fahmy.
Dengan demikian, pemberian subsidi ini bukan semata-mata memberikan subsidi bagi orang kaya yang mampu membeli kendaraan listrik, tetapi lebih untuk mempercepat migrasi dari kendaraan fosil ke kendaraan listrik yang ramah lingkungan.
Harus Ada Infrastruktur
Mamit menyebut program subsidi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang dilakukan pemerintah harus diikuti dengan kelengkapan infrastruktur EV.
"Program ini harus diikuti dengan kelengkapan infrastruktur untuk kendaraan listrik dalam artian jangan sampai ketika populasi sudah sangat meningkat, sudah sangat banyak, ternyata infrastruktur belum lengkap dan kurang sehingga akan memberatkan masyarakat ketika mereka akan beralih ke kendaraan listrik tersebut," ujar Mamit ketika dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Mamit mengatakan, hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan mekanisme pemberian subsidi. Seperti dengan menentukan kriteria siapa saja yang berhak untuk menerima subsidi tersebut harus lebih detail dan lebih jelas.
Hal tersebut perlu diperhatikan karena ini menyangkut angka yang sangat besar apalagi subsidi untuk mobil listrik yang sebesar Rp80 juta dan juga untuk motor sebesar Rp8 juta.
"Siapa yang berhak untuk menerima subsidi tersebut, apalagi harga kendaraan listrik ini masih sangat mahal dan tidak mungkin kalau untuk roda empat meskipun diberikan subsidi Rp80 juta masyarakat kelas menengah ke bawah mampu membeli karena harga yang sangat tinggi dan hanya masyarakat yang sangat kaya yang mampu membeli, urgensinya apa, kriterinanya apa, untuk mereka menerima subsidi dari pemerintah sebesar Rp80 juta," ujarnya.
Selain itu, pemberian subsidi EV juga harus dilakukan secara transparan dan sebaiknya yang pertama diberikan adalah untuk pemerintah desa, pemerintah daerah, dan BUMN yang memang digunakan untuk khalayak ramai.
"Ataupun masyarakat yang membeli kendaraan umum misalnya bus-bus listrik sehingga manfaatnya jelas dan bisa dinikmati oleh orang banyak," ujarnya.
Sedangkan untuk roda dua, Mamit tidak mempermasalahlan asalkan kriterianya jelas siapa yang berhak untuk membeli, diberikan subsidi plus satu lagi, masyarakat tidak boleh diarahkan membeli merek tertentu.
"Saya kira masyarakat dipersilakan membeli kendaraan listrik berdasarkan kemampuan mereka tanpa ada embel-embel harus membeli dari si A ataupun si B karena nanti akan tidak transparan dan akan merugikan juga," ucapnya.
Lebih lanjut, dengan adanya program ini, ia tidak menginginkan program subsidi untuk masyarakat tidak mampu terganggu karena bagaimana pun hakikat subsidi diberikan kepada masyarakat tidak mampu dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat.
"Jangan sampai nanti dengan adanya program ini membuat subsidi untuk masyarakat terganggu dan akhirnya mereka justru tidak meningkat perekonomian yang justru malah kesejahteraan mereka menurun karena adanya program ini, ini kan menyangkut ke jumlah yang tidak sedikit, tergantung dari seberapa besar nanti, berapa banyak orang yang berhak mendapat subsidi tersebut jadi pemerintah harus hati-hati dan transparan terkait dalam pemberian subsidi program ini," tutupnya.
Jangan Hanya Jadi Pasar
Fahmy mengingatkan pemerintah untuk dapat mewaspadai agar dalam menciptakan pasar kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di dalam negeri tidak dikuasai oleh produk impor.
"Dalam penciptaan pasar kendaraan listrik, Pemerintah harus mewapadai jangan sampai pasar dalam negeri dikuasai oleh produk impor dan perusahaan asing, seperti industri otomotif konvensional," ujar Fahmy dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (20/12/2022).
Fahmy mengatakan, untuk dapat mengantisipasi hal tersebut terjadi, maka pemerintah harus mensyaratkan pemberian insentif kendaraan listrik. Salah satunya adalah tidak hanya keharusan pabrik di Indonesia, tetapi juga harus mensyaratkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 75 persen.
"Pemerintah harus mensyaratkan juga transfer teknologi, khususnya technological capability dalam waktu lima tahun. Kalau persyaratan tersebut dipenuhi, pada saatnya kendaraan listrik dapat diproduksi sendiri oleh anak-bangsa, yang dipasarkan di pasar dalam negeri dan luar negeri," ujarnya.
Menurutnya, jika pasar dalam negeri sudah terbentuk, tanpa disuruh pun PLN pasti akan berinvestasi dalam Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) di seluruh wilayah Indonesia, lantaaran SPLU merupakan investasi yang prospektif.
Untuk penyediaan SPLU tersebut, PLN seharusya menggandeng penguasaha UMKM yang tersebar di seluruh wilayah Inonesia. Selain itu, PLN juga harus secara istiqomah menjalankan program migrasi dari penggunaan batu bara ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
"Melaui insentif kendaraan listrik ini diharapkan ke depan akan tercipta penggunaan energi ramah lingkungan dari hulu hingga hilir, sehingga bukan mustahil bagi Indonesia mencapai zero carbon pada 2060," ungkapnya.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengatakan pemberian subsidi untuk pembelian kendaraan listrik (EV) hanya akan dinikmati perusahaan asing terutama, produsen Wuling dari China dan Hyundai dari Korea Selatan.
"Dengan adanya subsidi pembelian EV ini akan membuat perusahaan-perusahaan tersebut akan memproduksi EV secara masif dan menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan banyak keuntungan. Sementara Indonesia hanya kebagian bebannya saja yang membuat subsidi ini seperti menyubsidi China dan Korea. Semuanya merek-merek kendaraan buatan luar negeri. Tidak ada mobil nasional," ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (21/12/2022).
Achmad mengatakan subsidi seharusnya bisa menghidupkan industri dalam negeri. Menurutnya, akan sangat rasional jika subsidi ini diberikan jika Indonesia memproduksi kendaraan listrik nasional sehingga keuntungannya adalah buat negara.
Lanjutnya, impor EV merupakan impor dengan kategori heavy. Hal ini akan menyebabkan peningkatan nilai impor yang berpotensi merusak neraca perdagangan.
"Kita hanya memberi keuntungan buat asing di mana demand produk kendaraan listrik akan meningkat dari waktu ke waktu. Sangat bodoh jika Indonesia tidak ambil bagian atas peluang jangka panjang ini," ujarnya.
Selain itu, yang akan menjadi persoalan ada infrastruktur yang belum memadai, di mana subsidi hanya diberikan di kota-kota besar saja yang sudah terdukung secara infrastruktur, sehingga akan terjadi ketidakadilan.
Dengan kondisi tersebut, seharusnya pemerintah dapat lebih memperhatikan faktor lainnya sebelum mengeluarkan kebijakan. Menurutnya, subsidi baru bisa dilakukan seandainya infrastruktur tidak merata.
Lebih lanjut, Achmad menyebut daripada memberikan subsidi EV lebih baik pemerintah memperbaiki transportasi publik yang menggunakan listrik untuk mengurangi emisi karbon dan mengurai kemacetan.
Termasuk dalam rangka menekan inflasi, pemerintah bisa memprioritaskan subsidi BBM, dan stimulasi untuk membuka lapangan-lapangan kerja baru sebagai antisipasi angka PHK yang sudah mulai terjadi.
"Walau bagaimanapun pemerintah harus punya sense of crisis sebagai pengemban amanat rakyat dengan mengedepankan persoalan yang sedang terjadi sebagai skala prioritas. Jadi subsidi pembelian kendaraan belum tepat dilakukan untuk saat ini," tutupnya.
Transisi Energi Tidak Hanya Lewat Kendaraan Listrik
Novia Xu mengatakan dalam mendorong penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), efisiensi penggunaan energi juga harus dilakukan.
Dalam artian bahwa pembangunan ekosistem rendah karbon tidak serta merta hanya lewat penggunaan kendaraan listrik, tapi non-bermotor atau transportasi umum penting.
"Keamanan dan kenyamanan transportasi umum bermanfaat untuk semua (inklusif), misalnya siswa yang belum bisa berkendara," ujarnya.
Novia mengatakan, subsidi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang dilakukan oleh pemerintah jika dikaitkan dengan memengaruhi subsidi energi rasanya sulit untuk dinilai.
Sulit untuk melihat dampak dari subsidi mobil atau motor listrik karena faktor yang memengaruhi besaran subsidi energi tidak hanya penggunaan kendaraan pribadi.
"Tapi juga penggunaan untuk industri, kemudian dipengaruhi juga oleh harga energi di dunia karena Indonesia masih price taker sebagai net importir," ujarnya.
Sementra itu Ekonom Centre of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendi Manilet mengatakan kebijakan insentif mobil listrik memang menjadi salah satu langkah yang bisa berpeluang untuk mencapai target pengurangan karbon.
"Hanya saja, pemberian insentif konversi kendaraan listrik tentu tidak bisa bekerja sendiri mengingat, salah satu penyebab meningkatnya emisi karbon adalah pembebasan lahan dan juga asap buangan dari salah satunya PLTU," ujar Yusuf saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Yusuf mengatakan, kebijakan tersebut tentunya akan mendorong angka kendaraan listrik, namun dibutuhkan waktu apalagi dibutuhkan waktu untuk membangun infrastruktur kendaraan listrik, termasuk di dalamnya tempat melakukan recharging baterai di seluruh Indonesia.
"Menurut saya dalam jangka panjang, ada peluang konversi kendaraan listrik akan menurunkan subsidi energi pada APBN," ujarnya.
Namun, butuh berapa lama dan seberapa besar akam meringankan APBN, bergantung pada seberapa besar nominal subsidi yang diberikan.
"Kepada jenis kendaraan apa diberikan dan kemampuan atau respons konsumem otomotif dalam melakukam konversi kendaraannya," ungkapnya
Harus Perhatikan Kapasitas Fiskal
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) harus memperhatikan kemampuan fiskal.
"Saya kira bagus untuk akselerasi kendaraan listrik dan tentu dilihat juga kemampuan fiskalnya sampai sejauh mana," ujar Komaidi saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Komaidi mengatakan kebijakan ini dapat dikatakan positif jika untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Pasalnya memperbanyak kendaraan listrik merupakan bagian yang harus dilakukan untuk mencapai hal tersebut.
"Hanya saja nanti dilihat kira-kira kapasitas fiskalnya seperti apa, jangan sampai mengganggu keseimbangan yang lain," ujarnya.
Komaidi menyebut untuk dapat mencapai tujuan pemerintah demi menghemat subsidi energi melalui kendaraan listrik tidak dapat diperkirakan secara seutuhnya. Menurutnya, hal tersebut bergantung sampai berapa kapasitas yang mampu disubsidi dan penetrasi kendaraan listriknya sendiri.
"Nanti kalau bisa banyak, tentu bisa menghemat, tapi kalau enggak banyak kan belum tentu bisa menghemat juga, di satu sisi mungkin dari konsumsi BBM-nya iya, tapi kan nanti mereka juga konsumsi listrik, ada aspek yang lainnya. Sementara listriknya masih disubsidi nih, jadi juga perlu dihitung sehingga tidak over optimis saja pemerintah," ungkapnya.
Lanjutnya, jangan sampai kelewatan optimis, di mana seolah-olah hanya BBM saja yang kurang, tetapi di sisi lain ada juga subsidi listrik yang diberikan pemerintah dan ini harus dikalkulasi secara utuh selisihnya berapa.
"Intinya tetap ada penghematan, artinya subsidi listriinya jauh lebih murah dibandingkan dengan subsidi BBM-nya, tapi apa pun itu lihatnya harus lebih utuh atau lebih lengkap, kalau enggak utuh nanti khawatirnya akan jadi salah kalkulasi," ucapnya.
Harapan Palsu
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai program subsidi pembelian kendaraan listrik hanya memberi harapan palsu kepada masyarakat.
Pasalnya informasi yang sempat menghebohkan ternyata tidak ada alokasinya di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.
"Hanya bikin gaduh saja. Masyarakat selalu di-PHP-in. Program yang belum jelas implementasinya sebaiknya pemerintah tidak menyampaikan ke publik. Karena jiika masyarakat berharap dan tidak tertunaikan akan mengesankan bahwa pemerintah mempermainkan harapan rakyat," ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (21/12/2022).
Ditambah lagi dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu yang menyebutkan APBN 2023 belum memasukkan anggaran untuk subsidi kendaraan listrik.
"Dia pun menegaskan bahwa untuk nilai anggaran subsidi sebesar Rp80 juta untuk pembelian mobil listrik, Rp40 juta untuk mobil berbasis hybrid, Rp8 juta untuk motor listrik, dan Rp5 juta untuk konversi motor listrik masih belum difinalkan," ujarnya.
Achmad mengatakan, besaran angka subsidi untuk pembelian mobil listrik senilai Rp80 juga dan mobil berbasis hybrid sebesar Rp40 juta sangatlah fantastis mengingat angka tersebut hanya bisa didapatkan oleh orang dengan ekonomi kelas atas.
Berbanding terbalik dengan bantuan sosial yang hanya berada di angka Rp600 ribu, dengan begitu ini berpotensi bisa mengakibatkan kecemburuan sosial.
"Subsidi kendaraan listrik ini hanya akan menguntungkan perusahaan asing saja karena saat ini yang menguasai pasar kendaraan listrik adalah China dan Korea," ungkapnya.
Menurutnya, ambisi negara ini kurang besar dalam industri kendaraan. Jika kendaraan listrik ini dijadikan solusi sebagai kendaraan yang ramah lingkungan yang mengurangi emisi karbon, maka seharusnya dari saat ini program yang didahulukan adalah membangun industri kendaraan listrik.
Ditambah lagi dengan kondisi Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia yang mana nikel merupakan bahan baku baterai.
"Jika produksi nikel dikuasai oleh Indonesia (bukan oleh China atau asing) dan juga memproduksi baterai dan kendaraan listrik, maka Indonesia akan mengalami lompatan besar dalam ekonomi," ucapnya.
Achmad mengungkapkan jika mampu melakukan itu, maka yang terjadi adalah Indonesia bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Pasalnya, dahulu negara yang menjadi raksasa ekonomi adalah negara yang menguasai minyak, sementara energi berbahan fosil semakin habis dan sekarang beralih ke penggunaan baterai.
Kemudian juga Indonesia dapat memproduksi kendaraan listrik yang baterainya dihasilkan di dalam negeri, sehingga keuntungan akan masuk ke dalam negeri.
"Dampaknya adalah harga kendaraan listrik yang dibuat di dalam negeri akan lebih murah, jadi tidak perlu ada lagi wacana subsidi kendaraan listrik," ujar Achmad.
Meski begitu, tantangannya akan sangat besar karena perusahaan kendaraan listrik asing akan tersaingi dan terpinggirkan. Namun, Indonesia akan mempunyai posisi kuat untuk bekerja sama dalam penyediaan baterai yang telah dikuasai negara dari hulu ke hilir.
"Pertanyaannya, apakah Indonesia tidak punya SDM yang mampu merancang dan membuat kendaraan? Apakah Indonesia tidak mampu mengadakan peralatan untuk memproduksi kendaraan? Jika jawabannya “iya”, maka Indonesia susah untuk menjadi negara maju, program pendidikan Indonesia dianggap gagal jika tidak mampu mencetak SDM yang mampu merancang dan membuat kendaraan," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement