Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kuasa Hukum Wilmar Buka Suara Soal Tuduhan Kartel Minyak Goreng

Kuasa Hukum Wilmar Buka Suara Soal Tuduhan Kartel Minyak Goreng Kredit Foto: Imamatul Silfia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tim kuasa hukum lima Pihak Terlapor dari Grup Wilmar buka suara terkait tuduhan kartel minyak goreng yang menimpa kliennya. 

Rikrik Rizkiyana dari kantor hukum Assegaf, Hamzah & Partners (AHP) menyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai investigator dalam kasus ini belum mampu memberikan bukti yang konkret atas tuduhan kartel.

"Sejauh ini, sepanjang persidangan, tidak ada satu pun bukti tertulis atau keterangan yang ada yang menunjukkan adanya kesepakatan. Padahal secara teori, kartel itu harus harus dibuktikan dengan kesepakatan," kata Rikrik saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (15/1/2023).

Baca Juga: Sumber Gizi Hingga Sejahterakan Petani, Sederet Manfaat Pengembangan Minyak Makan Merah di Indonesia

Seperti diketahui, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Dalam kasus ini, Pihak Terlapor dari Grup Wilmar melibatkan PT Multi Nabati Sulawesi, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Cahaya Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

Terlapor dituduh atas dua hal, yakni membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan.

Menurut Rikrik, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir 2021 sampai pertengahan 2022 dipicu oleh kenaikan harga CPO di pasar global. Untuk merespons hal tersebut, Kementerian Perdagangan menerbitkan aturan penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan aturan-aturan lainnya pada Januari 2022.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Turun, PKS Desak Jokowi Turunkan Harga BBM Bersubsidi: Tidak Ada Alasan Lagi untuk Mempertahankan Harga!

Dengan ditetapkannya aturan tersebut, maka mekanisme pasar telah berubah menjadi pasar yang diregulasi oleh pemerintah. Dengan demikian, lanjut Rikrik, hukum persaingan sudah tidak lagi relevan karena persaingan yang terjadi diatur oleh pemerintah melalui instrumen kebijakan persaingan.

Adapun terkait dugaan pembatasan peredaan minyak goreng, tim kuasa hukum AHP menyatakan persoalan tersebut disebabkan oleh faktor distribusi, bukan produksi. Kondisi ini tercermin pada fakta bahwa pasokan minyak goreng kemasan segera membanjiri pasar setelah kebijakan HET dicabut.

"Kalau kendalanya di produksi, prosesnya tidak akan secepat itu. Itu artinya kendalanya di bagian distribusi," jelas Rikrik.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Turun, PKS Desak Jokowi Turunkan Harga BBM Bersubsidi: Tidak Ada Alasan Lagi untuk Mempertahankan Harga!

Dalam kesempatan tersebut, perwakilan tim kuasa hukum AHP lainnya, yakni Farid Nasution, menambahkan kartel adalah tindakan bersama antara pelaku usaha tertentu untuk menyepakati keputusan strategis mereka di pasar. 

Dalam perkara minyak goreng ini, KPPU menduga penetapan harga  dilakukan oleh 27 perusahaan dari 13 kelompok usaha yang berbeda. Dengan begitu banyaknya jumlah terlapor dalam kasus ini, kartel penetapan harga nyaris tidak mungkin dilakukan.

"Hal ini diperkuat dengan keterangan para saksi yang sudah dihadirkan di persidangan baik oleh Investigator maupun Terlapor yang mengaku tidak mengetahui adanya koordinasi antara pengusaha untuk menaikkan harga jual," paparnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty

Advertisement

Bagikan Artikel: