Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Penentuan Kerugian Negara Tidak Bisa Imajiner, Harus Melibatkan APIP

Penentuan Kerugian Negara Tidak Bisa Imajiner, Harus Melibatkan APIP Kredit Foto: Unsplash/Tingey Injury Law Firm

Bukan UU Sapujagat

Sementara dalam sidang yang sama, Pakar Hukum Prof. I Gde Pantja Astawa, menegaskan agar UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak dijadikan sebagai UU 'sapu jagat' dalam penegakan hukum di Indonesia.

"Jadi dalam UU Tipikor pasal 14 secara eksplisit dikatakan, bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran UU pada UU tersebut harus dinyatakan bahwa pelanggaran itu adalah pelanggaran tindak pidana korupsi baru bisa dipidana korupsi. Jika tidak tertuang, jangan jadikan UU Tipikor ini sebagai UU sapu jagat," tegasnya dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2023).

Dijelaskannya, jika sebuah perusahaan dinyatakan melanggar UU Kehutanan atau UU Perkebunan pada pelanggaran tersebut harus tertuang ketentuan yang menyatakan perbuatan pelanggaran itu dapat dipidana dengan pidana korupsi, baru perkara pelanggaran tersebut dapat diadili secara Tipikor.

Jika tidak maka pelanggaran tersebut harus diselesaikan sesuai ketentuan di dalam UU tersebut.

"Artinya apakah di dalam UU Kehutanan itu disebutkan bahwa penyimpangan atau pelanggaran dalam UU kehutanan adalah tindak pidana korpusi. Kalau tidak ya UU Tipikor tidak bisa digunakan," jelas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung itu.

Sementara dalam UU Tipikor Pasal 14 tertulis: 'Secara eksplisit menyatakan ketentuan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas meyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.'

Selain itu, I Gde Pantja mengatakan, terkait konflik masalah kehutanan, perkebunan dan perizinan di Indonesia, Pemerintah telah menciptakan formulasi penyelesaian melalui UU Cipta Kerja.

Dengan tujuan semua badan usaha yang tak kunjung mendapatkan izin usaha meski telah berpuluh-puluh tahun mengusulkan izin tersebut.

Sebagai akibat dari konflik tumpang tindih kewenangan dalam pemberian izin berinvestasi, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta lembaga atau kementrian.

Dapat dengan mudah memiliki legalitas perizinan melalui pengusulan ulang perizinan secara administrasi, paling lama 3 tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan menjadi UU.

"Atas karut marut masalah perizinan dan dengan fakta yang terjadi sekian puluh tahun, telah terjadi tumpang tindih aturan konflik kewenangan antara daerah dan pusat, yang mengakibatkan terjadinya proses pengurusan izin yang bertele-tele. Maka untuk itu diciptakanlah UU Cipta Kerja ini dalam bentuk Omnibus," ungkapnya.

Sebelumnya I Gde Pantja juga menerangkan dalam hal perizinan, ketika seseorang warga negara Indonesia mengajukan permohonan izin kepada lembaga tertentu dengan segala syarat dan ketentuan telah terpenuhi, namun tak kunjung mendapatkan izin yang dimaksud dari lembaga tersebut, maka pejabat yang menjadi pimpinan di lembaga itu dapat digugat secara hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: