Pengamat Sebut Ada 7 Kekacauan dalam Narasi Kenaikan Ongkos Haji oleh Kemenag dan BPKH Tahun 2023
Menurut, Achmad Nur Hidayat MPP selaku Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom, ada kejanggalan dalam rencana kenaikan ongkos haji 2023. Ongkos haji diusulkan oleh Kementrian Agama (Kemenag) naik 74 persen tahun ini dari Rp39,8 juta tahun lalu menjadi Rp69,1 juta.
“Kenaikan tersebut tidak masuk akal disaat publik sedang berat-beratnya diuji oleh living cost yang semakin naik dan ancaman kehilangan pekerjaan serta resesi ekonomi 2023,” kata Achmad melalui keterangan tertulisnya, Jumat (27/01/23).
Ia menyebut, ada tujuh kekacauan dalam narasi kenaikan ongkos haji oleh Kemenag dan BPKH tahun 2023 ini. Berikut daftarnya.
Pertama, selama ini, Jamaah Haji Indonesia tidak mengalami kenaikan signifikan sejak 2014.
Baca Juga: Macam Tak Tahu Detil Wacana Biaya Haji, Pendukung Anies Kuliti Jokowi: Gaduh, Tinggal Kaget Aja
“Rerata kenaikan ongkos haji hanya 0.83% dalam kurun 2014-2019. Kenaikan sejak Menag dipimpin Yaqut menyebabkan rerata kenaikan menjadi melompat tinggi yaitu 43,35 persen. Yang terbesar adalah tahun 2023 ini lebih dari 73 persen,” kata dia.
Ini menimbulkan pertanyaan apakah menag berpihak pada umat jika kemampuannya cuma menaikan ongkos haji tiap tahun.
Kedua, BPKH sebagai Badan pengelola keuangan haji ternyata tidak bekerja dengan baik.
“Bila badan pengelola keuangan haji bekerja dengan baik, seharusnya Jamaah haji yang sudah menabung 25 juta untuk pendaftaran haji dalam kurun 20 tahun mendapatkan nilai manfaat sehingga setoran 25 juta tersebut menjadi Rp168,2 juta (dengan asumsi rate of return investment 10 persen pertahun),” jelasnya.
Dengan dana Rp168,2 juta tersebut jamaah haji tidak perlu menambah setoran lagi bahkan setoran awal tersebut bisa membantu jamaah lain untuk diberangkatkan.
“Keep in mind total Biaya penyelenggaraan haji 2023 dihitung oleh Menag sebesar Rp98,8 juta,” jelas dia.
Ketiga, Dana kelolaan haji tiap tahun bertambah, kini pada akhir tahun 2022 tercatat dana kelolaan haji sekitar Rp167 Triliun. Dilaporkan BPKH nilai manfaat dari dana kelolaan tersebut di tahun 2021 hanya 9 triliun.
“Ini artinya rate of return investment BPKH rendah sekali yaitu hanya 5,4 persen. Ini yang menyebabkan pada 2027 nanti nilai manfaat akan habis dan akhirnya dapat menggerus dana tabungan haji,” ungkapnya.
Rendahnya imbal hasil investasi oleh BPKH disebabkan salah pengelolaan tabungan haji.
BPKH menurut Achmad agak malas dengan menempatkan 70 persen dari Rp167 triliun atau sekitar Rp116,9 triliun di SBSN. SBSN adalah surat berharga syariah nasional yang diterbitkan Menkeu untuk membiayai APBN termasuk proyek infrastruktur dengan imbal hasil 5,95% bersifat fixed (tetap) per tahun.
Selain SBSN, BPKH juga menempatkan pada Sukuk Dana Haji Indonesia, produk layanan perbankan syariah dan penempatan investasi langsung yang returnnya sebenarnya cukup tinggi.
“Namun karena jumlahnya kecil 30% dari dana kelolaan maka tidak dapat mentop up nilai manfaat untuk ibadah haji,” kata dia.
Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH menikmati gaji tinggi sekitar 100-150 juta per bulan per orang, namun dengan nilai manfaat bagi jamaah haji yang kecil sekali.
Tabungan haji lebih banyak digunakan untuk menggaji BP BPKH daripada untuk melayani jamaah.
Badan Pelaksana BPKH bergaji tinggi namun kemampuannya dalam pengelolaan dana haji diinvestasikan di SBSN yang returnnya rendah. Amat memalukan.
Memang benar, bahwa pengelolaan dana haji diatur UU harus berprinsip syariah, berhati-hati dan konvensional. Namun juga harus mengedepankan manfaat yang sebesar-besarnya untuk jamaah haji.
BPKH seolah-olah tersandera oleh Kementerian Keuangan dimana investasi mereka mayoritas hanya di SBSN saja dengan rate 5,5%.
Padahal bila BPKH berfungsi optimal maka rate of return dana pengelolaan haji dapat 15 persen.
Dengan setoran awal jamaah 25 juta, maka dengan waktu tunggu asumsi 20 tahun maka dana setoran awal tersebut dapat menjadi Rp409,1 juta di akhir tahun ke-20.
Jumlah tersebut tentunya akan menyenangkan hati jamaah dan dapat membantu kelancaran ibadah haji karena jamaah tidak perlu membayar lagi ongkos hajinya.
Keempat, Dana kelolaan Haji terus naik. Terakhir tercatat 167 triliun. Namun Rasio NM/DK kecil sekali hanya 5,5-6 persen di tahun 2021. ini menunjukan BPKH tidak mengelola dengan baik, tidak memahami bagaimana optimalisasi keuangan syariah dengan baik.
Kelima, Nilai manfaat yang diberikan sekitar 8-9 triliun di 2021. Meski ada kenaikan 3 tahun terakhir 2019 (7.3 T) namun kenaikan kecil sekali tidak pantas disebut badan pengelola keuangan haji jika hanya menempatkan dana kelolaan haji di SBSN saja.
Keenam, Investasi BPKH tidak kreatif. Dana kelolaan Rp167 triliun mayoritas ke Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) atau SBSN yang ternyata returnnya kecil.
“SBSN digunakan tidak memiliki return yang tinggi. SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek,” jelasnya.
Ketujuh, Proyek kemaslahatan umat pun perlu dievaluasi disaat sudah menjamur sekolah edukasi-edukasi islam seperti pembangunan embarkasi diberbagai daerah, gedung manasik, madrasah dan rehabilitasi PTKIN.
Baca Juga: Kisruh Kenaikan Dana Haji 2023, Begini Kata DPR
“Sementara Biaya operasional BPKH tergolong besar meski ada sedikit penurunan. Biaya operasional dibagi nilai manfaat sebesar 2.02 persen (2020) meski pernah 7.06% di tahun 2016,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty
Tag Terkait:
Advertisement