Wakil Ketua MPR: Ekonomi Tumbuh Namun Kemiskinan Naik, Pertumbuhan Kita Masih Eksklusif
Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menilai pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2022 sebesar 5,31 persen sesuatu hal yang baik, namun ini bukanlah prestasi. Menurutnya, Indonesia masih kalah dibandingkan beberapa negara di ASEAN, seperti Vietnam yang mampu mencatat pertumbuhan 8,02 persen, Malaysia (7,8), dan Filipina (7,6).
Apalagi, lanjut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sejalan dengan tren penurunan kemiskinan. BPS mencatat tingkat kemiskinan pada September 2022 berada pada angka 9,57 persen, naik dibandingkan Maret 2022 sebesar 9,54 persen. Artinya, pertumbuhan masih bersifat eksklusif.
Baca Juga: Sering Debatin Anak Buah Sri Mulyani Soal Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Bos Bappenas: Tak Maksimal
"Capaian pertumbuhan sepanjang 2022 memang patut disyukuri, namun kita seharusnya mampu untuk menggenjot pertumbuhan lebih besar dari itu. Jika dilihat per kuartal, tren pertumbuhan justru menurun. Pada kuartal I 2022, ekonomi mampu tumbuh 5,02 persen, bahkan 5,73 persen pada kuartal III 2022. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan masih fluktuatif, tidak konsisten," kata Syarief dalam keterangan tertulisnya, Jumat (10/2/2023).
Dia menilai pertumbuhan yang berkelanjutan seharusnya ditakar dari proporsi lapangan usaha dalam PDB. Sektor industri yang berkontribusi 18,34 persen pada PDB hanya mampu tumbuh 4,89 persen, bahkan pertanian yang menyumbang 12,40 PDB hanya tumbuh 2,25 persen.
Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor transportasi dan pergudangan (19,97 persen), akomodasi dan makan minum (11,97 persen), serta jasa lainnya (9,47 persen). Gabungan ketiga sektor ini menyumbang 9,17 pada PDB. Ini menjadi tantangan untuk lebih menggenjot pertumbuhan.
Oleh karenanya, Syarief menilai, pemerintah mesti serius memitigasi dan mencari solusi atas tren deindustrialisasi. Sektor ini bersifat padat karya, yang tentunya berdampak pada tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Jika deindustrialisasi terus terjadi, maka pertaruhannya adalah keberlanjutan hidup rakyat banyak. Maka, jelas Syarief, diperlukan skala prioritas agar pertumbuhan sejalan dengan tujuannya yang hakiki, yakni penumpasan kemiskinan dan peningkatan kemakmuran.
Baca Juga: Cegah Stunting Sejak Dini, Pemprov DKI Ajak Remaja Konsumsi Tablet Penambah Darah
"Pertumbuhan positif harus dilihat lebih objektif agar kita tidak terjebak pada euforia dan gegap gempita. Jika pertumbuhan itu masih di bawah dengan potensi yang kita miliki, ada banyak kebijakan yang mesti dievaluasi," katanya.
"Atau jika ternyata pertumbuhan itu hanya bersifat eksklusif, tidak berdampak pada tingkat kemakmuran rakyat, maka itu jenis pertumbuhan yang tidak pantas untuk dirayakan. Kita masih punya banyak tantangan yang mesti segera diurai dan dijalankan dengan kebijakan yang presisi dan konsisten," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait:
Advertisement