Polemik adanya potensi cemaran Bisphenol A (BPA) dalam galon guna ulang Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) terus bergulir. Potensi BPA dalam galon pun dinilai hanya hoaks dan merupakan bentuk persaingan usaha saja.
“Pendapat itu absah saja karena nyaris di setiap persoalan bisnis selalu ada dua unsur yang tarik-menarik: kesehatan masyarakat (dan kelestarian lingkungan) versus kepentingan komersial,” kata Koordinator Advokasi FMCG Insights Willy Hanafi dalam keterangan tertulis.
Pernyataan tersebut sekaligus menjawab tudingan sebuah artikel yang menyebut FMCG Insights menyebarkan hoaks karena FMCG Insights ikut mendukung pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang (plastik keras polikarbonat).
Padahal dia mencontohkan, dalam bisnis makanan dan minuman, banyak kalangan saat ini mempersoalkan potensi bahaya minuman berpemanis dalam kemasan. Mereka mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan.
Kebijakan ini pun sudah tertera dalam APBN 2023, tapi pelaksanaannya ditunda karena faktor ekonomi. ”Jadi, sekali lagi akan selalu ada tarik menarik antara kepentingan kesehatan publik dengan kepentingan komersial,” katanya.
Karenanya, FMCG Insights yang telah berdiskusi dengan ahli ekonomi dan bisnis dari Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio, menilai apabila telah ada “eksternalitas negatif” dari suatu aktivitas bisnis, pemerintah harus mengintervensi pasar.
Meskipun intervensi itu bisa saja merugikan bisnis karena adanya eksternalitas negatif berupa terpaparnya konsumen kepada BPA dalam jangka panjang dari galon guna ulang.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri telah melakukan survei terhadap AMDK galon guna ulang, baik di sarana produksi, distribusi maupun penyimpanan, selama 2021-2022.
Hasil survei lapangan itu menemukan 3,4% sampel di sarana peredaran “tidak memenuhi syarat” batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta).
Lalu ada 46,97% sampel di sarana peredaran dan 30,91% sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5% di sarana produksi (galon baru) dan 8,67% di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
Dari hasil survei yang sama, BPOM bahkan juga mengungkap bahwa bahwa TDI (tolerable daily intake jumlah asupan senyawa kimia yang aman bagi manusia dalam jangka panjang) BPA di empat kabupaten dan kota telah melebihi angka 100%, atau melampaui ambang batas aman 4 mikogram per kilogram berat badan per hari.
Atas dasar itu, BPOM berinisiatif mengatur pelabelan AMDK pada kemasan AMDK galon guna ulang dengan merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
”Apakah akan ada bisnis yang dirugikan oleh rencana kebijakan BPOM itu? Tentu saja ada, tetapi negara melalui BPOM harus memilih kepentingan publik vis a vis kepentingan komersial,” papar Willy.
Dalam jangka panjang, menurutnya, revisi Peraturan BPOM yang berisi kewajiban pelabelan BPA pada AMDK galon guna ulang justru bisa menyehatkan persaingan usaha. Pasalnya, konsumen akan semakin sadar dengan kesehatannya. Di sisi lain produsen juga akan terus berinovasi.
Untuk diketahui, BPOM telah merilis rancangan revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 sejak akhir 2020. BPOM pulalah yang mengangkat isu ini ke ruang publik melalui webinar-webinar, pernyataan-pernyataan pers, dan bahkan rapat di DPR RI, baik itu yang disampaikan langsung oleh Kepala BPOM maupun deputi-deputinya.
“Alhasil, jika artikel mau menuding isu bahaya BPA pada galon guna ulang sebagai hoaks, kenapa tudingan itu hanya diarahkan kepada lembaga-lembaga masyarakat seperti FMCG Insights? Kenapa tudingan itu tidak sekalian ditujukan kepada BPOM?” kata Willy.
Sementara itu, pada 8 Juni 2022, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengklarifikasi bahwa berita terkait bahaya kandungan zat kimia BPA pada AMDK galon guna ulang bukanlah hoaks. Kominfo telah mencabut label “Disinformasi” yang sempat beredar di situsnya sejak 3 Januari 2021.
Dijelaskan, dampak kesehatan yang berpotensi ditimbulkan BPA pada galon guna ulang terjadi dalam konteks bahan kimia pembentuk polikarbonat itu berpindah ke bahan pangan (makanan dan minuman) atau yang disebut dengan “migrasi”.
Lalu dampak kesehatan itu juga terjadi dalam konteks tingkat asupan BPA ke dalam tubuh manusia melalui konsumsi pangan tadi, atau yang disebut “paparan”.
Ahli polimer dari Universitas Indonesia, Mochamad Chalid mengatakan BPA bisa mengalami pelepasan akibat terjadinya proses hidrolisis (reaksi kimia dimana molekul air memecah ikatan kimiawi) pada suhu dan dalam waktu tertentu. Jadi, kuncinya adalah suhu dan waktu.
“Perlunya kita memperhatikan suhu saat galon guna ulang dalam proses produksi, distribusi ke konsumen, dan penggunaan ulang limbahnya sebagai campuran bahan baku pada produksi berikutnya,” sebutnya.
Sementara itu, Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Baku, Kategori, Informasi Produk, dan Harmonisasi Standar Pangan Olahan, BPOM, Yeni Restiani, mewanti-wanti proses pencucian dengan air bersuhu lebih daripada 75 derajat celcius, penggunaan sikat yang keras, dan penyimpanan di bawah sinar matahari langsung. Semua itu, menurutnya, bisa mengakibatkan migrasi BPA.
Selain itu, penggunaan berulang kali galon polikarbonat bisa makin meningkatkan potensi migrasi BPA, apalagi kita tahu tak ada aturan yang membatasi usia dan masa pakai galon guna ulang.
"Potensi masalah terbesar salah satunya ada pada berapa kali (galon polikarbonat) diguna ulang,” kata Chalid dalam diskusi The Experts Forum tentang “Urgensi Pelabelan BPA untuk Kemasan Air Minum dan Makanan” di Universitas Indonesia, Depok, beberapa waktu lalu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement