Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

FKGPI Respons Kewenangan Absolut OJK

FKGPI Respons Kewenangan Absolut OJK Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan (UU PPSK) telah diundangkan oleh parlemen dan disahkan oleh pemerintah. Undang-undang ini dikenal sebagai Omnibus Law Keuangan, terdiri dari 27 bab, 11 bagian, 341 pasal dan telah mengamandemen 17 undang-undang terkait sektor keuangan. 

Ajie Gutomo, Fungsionaris Forum Komunikasi Gerakan Koperasi Indonesia (FKGPI) mengatakan, pada UU P2SK tersebut ada lima hal yang krusial bagi reformasi sektor keuangan. Pertama, penguatan kelembagaan sebagai otoritas sektor keuangan dan menjaga stabilitas dengan tetap memperhatikan indepedensi. Kedua, penguatan industri sektor keuangan dan peningkatan kepercayaan publik.  

Ketiga, mendorong akumulasi dana jangka panjang untuk kesejahteraan termasuk akses pembiayaan UMKM; Keempat, reformasi penegakan hukum sektor keuangan dengan mengedepankan prinsip restorative justice; Kelima, literasi , inklusi dan inovasi sektor keuangan serta perlindungan konsumen, ujar Ajie Gutomo dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (19/2/2023).

Baca Juga: Perluas Akses Layanan Keuangan, Bank Ina Perdana Buka Kantor Cabang di Sulawesi Tengah

Selain itu kata Ajie sapaan akrabnya, pada bagian keempat tentang  OJK didapati beberapa pasal yang kontroversial. Pasal-pasal tersebut mengubah beberapa ketentuan dalam undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, salah satunya tentang kewenangan OJK untuk menyidik tindak pidana jasa keuangan. Seperti pada Pasal 1 ayat  (1) yang berbunyi, "Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini."

Juga pada Pasal 48B yang terdiri dari 13 ayat secara tegas memperlihatkan kewenangan OJK melakukan penyidikan tindak pidana sektor jasa keuangan dan berwenang pula untuk menghentikannya, seperti yang tercantum pada ayat (1) "Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tindak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan," sebut Ajie.

Dia menegaskan, Lebih-lebih bunyi Pasal 49 ayat (5), 'Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan'.  Dengan demikian, selain menjadi pengawas, OJK sebagai instansi tunggal juga akan melakukan penyidikan.

Pasal itu dianggap bermasalah karena hanya OJK yang berhak sebagai penyidik tunggal baik tindak pidana pada sektor jasa keuangan. Itu akan membuat tidak ada gunanya lagi badan khusus lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian maupun kejaksaan untuk bisa menangani kejahatan di sektor jasa keuangan. Padahal, saat ini POLRI (Bareskrim) sudah memiliki unit khusus untuk mengusut kejahatan di sektor keuangan yakni Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus). 

"Hal ini juga sangat rawan untuk terjadinya korupsi ketika kewenangan  absolut diberikan kepada OJK sebagai penyidik tunggal dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan dan sebaiknya OJK fokus dalam bidang pengawasan sektor jasa keuangan saja," ungkap Ajie.

Baca Juga: Cara Mencatat Pengeluaran Keuangan, Jadi Pelit atau Bikin Uang Lebih Awet?

Lembaga OJK sambung Ajie,  juga tidak memiliki sumber daya yang memadai dan belum berpengalaman dalam melakukan pengusutan tindak pidana sektor keuangan. Jika hal tersebut terus dilaksanakan, maka akan ada pengangkatan personil baru di OJK sebagai penyidik tindak pidana yang tentunya tidak sedikit memakan anggaran biaya tidak sedikit dalam reqruitment tersebut. Meski OJK juga bisa menggunakan sumber daya dari kepolisian hingga pegawai negeri sipil yang ada.

"Dengan begitu kompleksnya dampak yang akan muncul dari satu pasal ini (pasal 49 ayat 5), memungkinkan untuk diubah dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi  (MK) untuk merubah atau membatalkan  pasal tersebut," pungkas Ajie.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Advertisement

Bagikan Artikel: