Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Kemunculan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam bentuk aplikasi ChatGPT turut membawa dampak pada sektor pendidikan. Walaupun begitu, penggunaannya tidak perlu diregulasi secara resmi pada level nasional atau oleh pemerintah.
"Wah kalau pemerintah harus meregulasi suatu produk tertentu, saya rasa tidak umum ya. Namun, mungkin yang dibatasi bisa dari dua hal, pertama adalah pembatasan dari sisi pemanfaatan teknologi. Yang selanjutnya adalah pembatasan dari masing-masings sektor," ungkap Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ajisatria Suleiman, Kamis (23/3/2023).
Baca Juga: Berjualan Melalui Chat Semakin Marak, Social Commerce Bertumbuh
Ajisatria mencontohkan, pemanfaatan kecerdasan buatan sudah cukup banyak di berbagai bidang, misalnya teknologi biometrik untuk pengenalan wajah. Teknologi ini kan dapat dipergunakan di suatu sektor tertentu, misalnya untuk penegakan hukum. Kalau untuk surveillance, penggunaannya dibatasi, bahkan dilarang.
Di Indonesia, penggunaan biometrik terkait dengan data pribadi sehingga diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Untuk ChatGPT pada sektor pendidikan, bisa dijelaskan apa yang boleh, apa yang tidak boleh, tapi tidak perlu diatur dalam level nasional atau negara.
"Sebenarnya kalau kalau misalnya suatu industri tertentu sektor dapat meregulasi dirinya sendiri. Sebenarnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk campur gitu. Contohnya kalau tadi kita berbicara di sektor pendidikan, misalnya ada ada yang mengatakan bahwa ChatGPT dilarang di dalam ujian, maka pengaturannya bisa diserahkan ke sekolah masing-masing," lanjutnya.
Pemerintah tidak perlu dibebankan untuk mengatur ChatGPT karena penggunaannya bergantung kepada sektornya dan bergantung pada pemanfaatannya. Pengaturannya juga tidak harus dari pemerintah.
Terkait kehadiran kecerdasan buatan dan dampaknya kepada kehidupan secara umum, Ajisatria mengatakan kemunculan ChatGPT hanyalah awal dari revolusi kecerdasan buatan itu sendiri. Tidak tertutup kemungkinan akan muncul berbagai bentuk teknologi kecerdasan buatan lainnya.
Hal ini harus disikapi secara serius oleh berbagai pihak. Pertama, dari sisi ketenagakerjaan, semua pemangku kepentingan harus memikirkan skill apa yang diperlukan untuk mengembangkan diri supaya kita tidak ketinggalan dari sisi fungsi. Lalu bagaimana semua sektor bisa mengantisipasi segala risiko dan tantangannya?
"Yang pasti. Kalau kita tidak mampu menangkap tantangan dan menyelesaikan risiko-risikonya, ya kita bisa bisa sangat tertinggal dalam dalam kita tidak bicara puluh tahun, dalam 5-10 tahun ke depan saja kita bisa tertinggal kalau tidak beradaptasi," tegasnya.
Ajisatria juga menambahkan kalau kehadiran teknologi kecerdasan buatan mungkin akan berdampak pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Namun, kemungkinan ini hendaknya disikapi dengan positif dan memacu mereka yang terlibat untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya dalam menjalankan pekerjaan tersebut.
Pada akhirnya kalau kita berbicara ekonomi, kita akan melihat sebenarnya ke mana yang paling efisien dan mana yang paling memberikan value kepada dalam satu sistem ekonomi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait:
Advertisement