Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Isu Transaksi Rp349 Triliun, Wamenkeu Beberkan Fakta Soal Beda Data Sri Mulyani dan Mahfud MD

Isu Transaksi Rp349 Triliun, Wamenkeu Beberkan Fakta Soal Beda Data Sri Mulyani dan Mahfud MD Kredit Foto: Alfida Rizky Febrianna
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkap data rinci soal transaksi janggal Rp349 triliun, usai sebelumnya sempat jadi perbincangan publik, terkait perbedaan pernyataan antara Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dengan Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Mahfud MD di DPR.

Menanggapi simpang siur informasi yang diterima publik, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menguraikan secara rinci hasil pernyataan Sri Mulyani di depan Komisi XI DPR, dengan hasil pernyataan Mahfud MD di depan Komisi III DPR.

Baca Juga: Bambang Wuryanto Tak Setuju Pembentukan Pansus Transaksi Janggal Rp349 Triliun

"Mungkin saya mulai dari apa yang teman-teman lihat di Komisi XI, surat PPATK ke Kemenkeu tertanggal 13 Maret 2023, berisikan rekap atas 300 surat, yang pernah dikirimkan PPATK. (Surat) PPATK, ada yang dikirimkan ke APH itu 100 surat dan dikirimkan ke Kemenkeu itu yang 200 surat," jelasnya, dalam media briefing di kantornya, Jumat (31/3/2023).

Berdasarkan catatan Warta Ekonomi, terkait dengan 300 surat tersebut, penjelasan hasil identifikasi Kemenkeu di Komisi XI DPR adalah sebagai berikut:

  1. Surat dikirimkan ke Kemenkeu (pegawai) senilai Rp22 triliun dan surat dikirimkan ke APH (pegawai) senilai Rp13 triliun sehingga totalnya Rp35 triliun;
  2. Surat dikirimkan ke APH (melibatkan pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain) senilai Rp47 triliun;
  3. Surat dikirimkan ke kemenkeu (perusahaan) senilai Rp253 triliun dan surat dikirimkan ke APH (perusahaan) senilai Rp14 triliun sehingga totalnya Rp260 triliun.

Sementara, penjelasan Komite TPPU di Komisi III DPR adalah sebagai berikut:

  1. Transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu senilai Rp35 triliun;
  2. Transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain (termasuk perusahaan) senilai Rp53 triliun;
  3. Transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan (artinya termasuk pajak dan bea cukai) senilai Rp260 triliun.

"Nomor satu, jumlahnya Rp35 triliun. Nah ini dianggap berbeda, karena waktu di komisi XI diterangkan (oleh Sri Mulyani) hanya Rp22 triliun," kata Suahasil.

Dia lalu menjelaskan, alasan Sri Mulyani hanya menyebutkan Rp22 triliun adalah karena Kemenkeu tidak menerima surat PPATK yang dikirimkan kepada aparat penegak hukum.

"Kalau surat dikirimkan kepada aparat penegak hukum, kementerian keuangan itu tidak terima. Yang terima adalah APH. Nah karena itu, ketika di komisi XI, kita menguraikan yang Rp22 triliun yang terkait korporasi dan pegawai Kemenkeu," terangnya.

Suahasil lalu merincikan, dari Rp22 triliun tersebut, senilai Rp18,7 triliun adalah terkait korporasi, sementara yang terkait dengan pegawai Kemenkeu hanya senilai Rp3,3 triliun.

Dia juga menekankan, perbedaan pernyataan dari Kemenkeu dan Komite TPPU disebabkan dalam penjelasan Komite TPPU, surat PPATK kepada Kemenkeu dan APH dikelompokkan menjadi satu.

Baca Juga: Tanggapi Kasus Transaksi Janggal Rp349 T, Wapres: Momentum Lembaga Negara Berbenah

"Nah tapi sekarang kalau itu kita pecah menjadi dua, mana di antara Rp 35 triliun itu yang benar-benar dikirim ke Kemenkeu dengan mana yang benar-benar dikirim ke APH, maka surat yang dikirimkan ke kemenkeu benar Rp22 triliun dan surat yang diberikan ke APH dapatnya Rp13 triliun. Kalau dijumlah jadi berapa? 35 triliun. Ini hanya perbedaan cara mengklasifikasikannya saja," jelas Suahasil.

Terakhir, dia menegaskan bahwa sebetulnya data terkait jumlah surat dan besaran nilai yang dikirimkan PPATK dengan yang diterima Kemenkeu adalah sama. Perbedaannya hanya dari cara penyajian hasil klasifikasi data oleh Kemenkeu dan Komite TPPU.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Alfida Rizky Febrianna
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Advertisement

Bagikan Artikel: