Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Etnis Tionghoa dan Politik Indonesia Kini: Optimisme di Tengah Menguatnya Iklim Demokrasi

Etnis Tionghoa dan Politik Indonesia Kini: Optimisme di Tengah Menguatnya Iklim Demokrasi Kredit Foto: FSI
Warta Ekonomi, Jakarta -

Politikus etnis Tionghoa di Indonesia masih akan optimis mengikuti kontestasi politik dalam negeri, kata Johanes Herlijanto, ketua Forum Sinologi Indonesia. 

“Para politikus etnis Tionghoa dinilai akan tetap memiliki optimisme dan semangat untuk berkontribusi dalam politik di Indonesia,” kata Johanes, seminar luring bertajuk "Tionghoa dan Politik Indonesia: Pandangan dan Harapan", pada Jumat (14/4/2023).

Baca Juga: Etnis Tionghoa Dukung Anies Baswedan Jadi Presiden 2024, Simpatisan Ini Ungkap Alasannya…

Johanes sebelumnya menerangkan proses demokrasi di Indonesia yang dalam hampir 25 tahun terakhir memberi ruang lebih besar bagi etnis Tionghoa dan kelompok masyarakat lain, sebagai pengantar dan pemantik seminar.

“Meski Tionghoa adalah salah satu dari 15 kelompok etnik terbesar di negeri ini, mereka menjadi target dari berbagai peraturan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah otoritarian Orde Baru,” papar dosen di Universitas Pelita Harapan (UPH) itu.

Johanes menilai, etnis Tionghoa lebih dari dua dekade lalu menerima tindakan diskriminatif dalam bentuk pengekangan hingga pembatasan terhadap banyak bagian.

“Mereka mengalami berbagai pengekangan, baik dalam ekspresi identitas maupun budaya, dan didorong untuk mengambil jarak dari partisipasi politik,” lanjutnya. 

Dilanjutkannya, proses demokrasi yang kian membaik dimulai pada masa Reformasi memberikan kesempatan baik bagi etnis Tionghoa untuk mendapatkan hak yang setara dengan kelompok masyarakat lain.

“Namun menguatnya iklim demokrasi di Indonesia era reformasi menjadi berkah tersendiri bagi komunitas Tionghoa Indonesia. Mereka kembali memperoleh hak dan ruang untuk mengekspresikan identitas, budaya, dan meningkatkan partisipasi politik mereka,” tuturnya.

Ia mengatakan bahwa tak sedikit politikus Tionghoa bahkan berhasil meraih jabatan-jabatan politik yang penting. Salah satunya adalah Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang bukan hanya memiliki karier yang terhitung mulus, tetapi juga dianggap sebagai simbol dari penerimaan masyarakat Indonesia terhadap politikus dengan latar belakang etnik Tionghoa. 

“Namun di tengah optimisme terhadap makin meningkatnya penerimaan tersebut, resistensi terhadap kepemimpinan BTP justru meningkat, khususnya pada pertengahan hingga akhir 2016,” ujar dosen Ilmu Komunikasi UPH itu. 

Yang penting untuk dicatat, etnisitas BTP sebagai Tionghoa turut pula diangkat dalam gelombang penolakan terhadap beliau. 

“Muncul kembalinya isu identitas dalam gelombang resistensi terhadap BTP menjelang dan di sepanjang pilkada tahun 2017 tentu membawa dampak tertentu bagi masyarakat Tionghoa, termasuk para politikus dan pemimpin komunitas Tionghoa,” lanjut Johanes.

Dalam pengamatan Johanes, meski sebagian dari para politis dan tokoh tersebut memiliki kekecewaan dan kekhawatiran terhadap kembalinya isu etnisitas di seputar pilkada 2017 yang lalu, mereka tetap memiliki sikap optimis dan bersemangat untuk terus berkontribusi bagi negeri ini melalui partisipasi politik.

“Ini terlihat dari tak sedikit orang Tionghoa yang turut berpartisipasi dalam pemilihan umum tahun 2019 sebagai calon anggota legislatif, baik pada tataran pusat maupun daerah,” jelas Johanes.  

Ia menganalisis bahwa optimisme dan semangat di atas antara lain disebabkan karena mereka masih memiliki kepercayaan dan harapan terhadap semangat toleransi dan kebhinekaan dalam masyarakat Indonesia.

Sebagai pendukung dari pernyataannya, Johanes merujuk pada pernyataan seorang politikus Wanita yang berpendapat bahwa kebhinekaan Indonesia harus dipertahankan melalui perjuangan.

“Politisi wanita di atas merasa terpanggil untuk berjuang bagi nilai-nilai kebhinekaan bangsa Indonesia,” tuturnya.

Selain optimis dan bersemangat untuk mempertahankan Bhineka Tunggal Ika, para politikus Tionghoa dinilai memiliki optimisme terhadap demokrasi dan sistem politik Indonesia juga.

“Mereka menaruh harapan terhadap peran partai politik dalam meningkatkan kualitas demokrasi dan hak asasi manusia (HAM),” pungkas Johanes.  

Ketua FSI itu pun juga terpukai dengan fakta bahwa di tengah kekecewaan yang mungkin terjadi akibat kembalinya isu identitas dalam politik di tahun 2017 lalu, nasionalisme keindonesiaan dari para politikus dan tokoh komunitas Tionghoa bukan saja tak luntur, tetapi bahkan semakin tinggi. 

“Para politisi dan tokoh Tionghoa beranggapan bahwa orang-orang Tionghoa perlu lebih meningkatkan kesadaran berbangsa dan kesadaran sebagai warga negara,” tuturnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: