Hasil penelitian Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC) menunjukkan persepsi warga Jawa Barat (Jabar) adalah toleransi, tetapi Pemerintah Provinsi Jabar tetap perlu memberikan perhatian-perhatian terhadap suara-suara kecil intoleransi.
Demikian yang disampaikan Direktur Riset IPRC, Leo Agustino, pada acara Pemaparan hasil penelitian IPRC mengenai "Persepsi Warga Jawa Barat Terhadap Isu Toleransi di Provinsi Jawa Barat" di Aula Bhinneka Tunggal Ika Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol), Senin (17/4/2023).
Baca Juga: Ribuan Peserta Mudikers GP Diberangkatkan dari Empat Lokasi di Jabar
Hadir pada acara tersebut, antara lain, Kepala Bakesbangpol Jabar Iip Hidayat, Sekretaris Bakesbangpol Jabar Sapta Julianto Dasuki, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jabar Rafani Akhyar, serta perwakilan dari FKDM, FPK, dan FKPT lainnya.
Beberapa temuan dalam penelitian IPRC menunjukkan antara lain sebesar 79,8% responden menyatakan tidak setuju bahwa demokrasi adalah sistem yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Sebesar 81,2% responden menyatakan tidak setuju bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak cocok karena bertentangan dengan ajaran Islam. Sebesar 92,2% responden bersedia berteman dengan orang yang berbeda agama.
Sedangkan, 90,6% responden bersedia bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Sebesar 88,9% responden bersedia memberi bantuan dengan tetangga yang berbeda agama. Bahkan, 76,3% responden bersedia berdialog dan bermusyawarah dengan orang yang berbeda agama dan 92,6% responden setuju dengan pernyataan hidup berdampingan antar-pemeluk agama dan tidak saling menghina.
"69,9% responden setuju dengan pernyataan 'setiap orang punya hak untuk beribadah, maka acara keagamaan apa pun di lingkungan saya tidak boleh dilarang atau dihentikan'," kata Leo.
Sebesar 92,1% responden setuju terhadap pernyataan pemerintah harus melindungi kelompok yang mendapat kekerasan dari kelompok lain. Sebesar 90,8% responden menyatakan ajaran agamanya mengajarkan untuk bergaul dan menghormati penganut agama lain.
Leo mengungkapkan IPRC menggunakan Mixed-methods dalam penelitian ini dalam rangka memperoleh data dan informasi yang komprehensif. Sementara itu, pengumpulan data dilakukan dengan cara library research dan survei.
"Sampel survei sebanyak 1.200 orang dengan metode penarikan sampel multistage random sampling. Response rate sebesar 100% dengan margin of error (MoE) rata-rata sebesar +/- 2,87% pada tingkat kepercayaan 95%," jelasnya.
Adapun, Kepala Bakesbangpol Jabar Iip Hidayat mengemukakan warga Jabar secara umum dapat dinilai sebagai masyarakat yang toleran, tidak seperti gambaran beberapa kalangan yang menganggap Jabar wilayah intoleransi tinggi di Indonesia.
"Penelitian ini merupakan upaya untuk mendapatkan data dan informasi yang valid dapat dipertanggungjawabkan," katanya.
Dia menyebutkan hasil penelitian menunjukkan, masalah toleransi dari sisi sosial, warga Jabar sebagian besar menyatakan sepakat mau hidup berdampingan dengan agama lain. Artinya masih tinggi rasa itu dan pihaknya akan mengembangkan hal dan tentunya harus ada tindak lanjut.
"Tindak lanjut bagaimana kita mendidik, membina generasi muda menjaga kerukunan. Bagaimana masyarakat juga berbaur dalam perbedaan dan kami lakukan bersama FKUB salah satu mitra strategis ini di antaranya," ungkapnya.
Baca Juga: Miris, Ratusan Perusahaan di Jabar Belum Bayar THR 2023
Iip mengaku optimis orang Jabar dengan kearifan lokal dan someah hade ka semah (ramah tamahnya -red) menjunjung tinggi toleransi karena mereka enggan berkonflik.
"Jadi memang survei ini kita ingin memastikan bagaimana pendapat dari masyarakat Jawa Barat," ujarnya.
"Makanya surveinya di 27 kabupaten/kota tadi hasil bicara masalah toleransi dari sisi sosial tidak berbicara akidah, ibadah, ternyata masyarakat Jawa Barat di atas 52 persen menyatakan mereka mau berdampingan dengan sesama agama," jelasnya.
"Artinya tingkat kebersamaan masyarakat Jawa Barat itu masih tinggi, masih kuat itu yang ingin kita tanam dan akan kita kembangkan terus," sambungnya.
Iip mengakui, awalnya merasa prihatin dengan survei yang dilakukan SETARA Institute. Padahal, pada kenyataannya, survei tahun 2019 itu tidak mewakili provinsi, melainkan hanya tiga kabupaten/kota.
"Ternyata mereka tidak mewakili provinsi tapi per kabupaten/kota, hanya di medianya munculnya provinsi. Kemudian kita ingin mengetahui juga indikator dan sebagainya," katanya.
Baca Juga: Jusuf Kalla Jabarkan Sosok yang Pantas Pimpin Indonesia di 2024, Ternyata Dia…
Oleh karena itu, tahun 2023 Kesbangpol Jawa Barat melakukan survei di 27 kabupaten/kota guna memperkuat penelitian sebelumnya yang menyatakan Provinsi Jawa Barat toleran terhadap keberagaman beragama.
"Sebelumnya kami melakukan survei di sembilan kabupaten/kota. Hasil ini sering disampaikan Pak Gubernur terkait keberagaman dan kerukunan umat beragama. Nah untuk tahun ini kami juga melakukan hal serupa tapi tidak di sembilan kabupaten/kota tapi di 27 kabupaten/kota jadi mewakili seluruhnya," jelasnya.
Iip menilai sangat tidak adil bila harus membandingkan Provinsi Jawa Barat dengan provinsi yang jumlahnya tidak mewakili 20% penduduk Indonesia.
"Tapi poinnya ini kepentingan kita bersama, kepentingan provinsi Jawa Barat. Karena kalau bicara populasi, ini tingkat dinamisasinya akan lebih tinggi dari provinsi lain yang notabene masih di bawah dua jutaan penduduk seperti Gorontalo dan sebagainya. Sementara kita 50 juta ini sensus BPS (Badan Pusat Statistik) 2020, itu yang 49,7%. Ini 2023 jadi sudah 50 persenan lebih," jelasnya.
"Makanya kita lihat kenapa saya lakukan survei biar bisa dipertanggungjawabkan juga secara akademis. Tidak hanya Kesbangpol yang survei tapi kita serahkan pada yang haknya," sambungnya.
Adapun, Dosen Fisip UNPAD, DR Slamet, mengemukakan mengenai isu intoleransi di Jabar diperlukan narasi bahwa peningkatan jumlah kasus intoleransi tidak selalu menunjukkan penyikapan warga Jawa Barat yang silih asih silih asah dan silih asuh.
Ada dinamika karena ruang interaksi publik yang beragam dan dinamika masyarakat yang seperlima penduduk Indonesia ada di Jawa Barat.
"Apakah juga menjadi relevan mengaitkan dengan hasil penelitian lainnya karena persepsi dibentuk oleh ruang dan waktu yang juga dinamis," ujar Slamet.
Untuk itu, perlu diungkapkan pentingnya literasi baik digital maupun ruang pendidikan sebagai basis ketahanan sosial dan menjaga persatuan.
Pada kesempatan yang sama, Ketua FKUB Jabar yang juga Sekretaris MUI Jabar, Rafani Achyar, mengemukakan, harus dibedakan ukuran antara toleransi paham sekular barat dan toleransi menurut ajaran Islam yang tidak dapat melonggarkan ukuran toleransinya untuk sikap yang menyangkut akidah.
"Jadi, banyak yang menyoroti masalah Intoleransi di Jabar karena mencampuradukkan antara toleransi dan akidah, sebagian besar umat beragama di Jabar sama-sama toleransi terhadap keberagaman beragama dalam hal sosial kemasyarakatan, tapi tidak mencampuri ke ranah akidah," jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Bakesbangpol Jabar, Sapta Julianto Dasuki, dalam laporannya, mengemukakan Bakesbangpol bekerja sama dengan IPRC telah melakukan penelitian Persepsi Warga Jawa Barat Terhadap Isu Toleransi di Provinsi Jawa Barat, di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat.
Penelitian yang dilakukan pada 24 Maret hingga 2 April 2023 adalah dalam rangka tahun Pemilu pada 2024. Sebagaimana berkaca pada tahun Pemilu tahun 2019 lalu yang memiliki dampak kurang baik terhadap kondisi toleransi warga Provinsi Jawa Barat.
"Maka diperlukan data dan informasi mengenai kondisi toleransi di Jawa Barat," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Ayu Almas
Advertisement