Jokowi Harus Cuti Jadi Presiden Jika Dukung dan Mengkampanyekan Ganjar Pranowo, Profesor Eks Pendukung: Tak Boleh Pakai Fasilitas Negara!
Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof Denny Indrayana kembali membuat analisa panjangnyaa mengenai gelagat manuver Presiden Jokowi di Pilpres 2024. Denny menyinggung soal Jokowi yang dinilai masih ikut campur urusan Pilpres yang menurutnya sarat akan pelanggaran etika sebagai seorang presiden.
Bagi Denny yang juga merupakan pendukung Jokowi di 2014 lalu, seorang Presiden membawa perihal institusional yang memiliki konsekuensi tidak boleh berpolitik untuk kepentingan sebagian kelompok saja.
“Sebagai pejabat publik, politik presiden adalah untuk kepentingan publik. Politik institusional presiden, adalah politik kebangsaan. Politik yang didedikasikan hanya untuk Republik Indonesia. Politik untuk seluruh rakyat, tanpa kecuali, tanpa membedakan, tanpa diskriminasi,” ujar Denny dalam tulisannya yang dimuat di laman Intergity Law Firms, dikutip Minggu (7/5/23).
“Politik institusional presiden tidak boleh partisan. Artinya, presiden tidak boleh berpolitik untuk tujuan sekelompok masyarakat ataupun partai politik pendukungnya saja,” tambahnya.
Menurut Denny, Jokowi sebagai pribadi tentu punya hak untuk punya preferensi dan mendukung calon tertentu. Masalahnya adalah Jokowi saat ini juga punya jabatan seorang presiden yang harus netral dan tidak boleh menunjukkan dukungan kepada pihak tertentu.
Karenanya, Denny mengungkapkan jika Jokowi kelak terang-terangan memberikan dukungan bahkan menjadi juru kampanye, maka Jokowi harus cuti menjadi presiden.
“Tentu, jika Joko Widodo akan kampanye untuk Capres Ganjar Pranowo, misalnya, maka ia harus cuti sebagai presiden. Demikian aturan UU Pemilu secara tegas mengatur, untuk memastikan Presiden tidak menggunakan fasilitas dan jabatan publiknya sebagai presiden untuk kepentingan politik diri-pribadi,” jelasnya.
Lanjut Denny, dari sisi fasilitas, untuk kepentingan politik kebangsaan, Presiden Jokowi berhak menggunakan protokoler dan fasilitas negara.
Sebaliknya, untuk kepentingan politik partisan diri-pribadi, Joko Widodo harus menggunakan fasilitas diri-sendiri.
“Itu sebabnya, Istana Negara, Istana Merdeka tidak boleh digunakan untuk membahas strategi pemenangan koalisi pemilihan umum, termasuk Pilpres 2024. Karena agenda politik demikian, bukanlah agenda kebangsaan, tetapi agenda politik partisan,” ujarnya.
Hal ini menurut Denny makin relevan jika menengok bagaimana pengakuan Jokowi yang sengaja tidak mengajak Surya Paloh ke Istana di acara bersama ketum Pro pemerintah lainnya, dengan alasan NasDem sudah punya koalisi sendiri dengan mendukung Anies Baswedan.
“Presiden Jokowi sudah jujur mengatakan tidak lagi mengundang Nasdem karena sudah punya koalisi sendiri. Tentu yang dimaksud adalah koalisi Nasdem-Demokrat-PKS yang mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Joko Widodo dengan jelas sedang berpolitik partisan, dengan menunjukkan preferensi kepada koalisi Ganjar dan Prabowo di satu sisi, serta resistensi kepada partai koalisi pendukung Anies pada sisi yang lain,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait:
Advertisement