Indonesia Darurat Kejahatan Siber, Rhenald Kasali Usulkan Empat Langkah Preventif Ini
Kasus Bjorka dan serangan ransomware (perangkat pemeras) Bank Syariah Indonesia (BSI) pada beberapa waktu yang lalu mengindikasikan bahwa keamanan siber di Indonesia belum termanifestasi dengan sempurna.
Sebelumnya, peretas Bjorka mengklaim telah berhasil meretas 26 juta riwayat pencarian pelanggan Indihome, 1,3 miliar data registrasi SIM Card, dan juga 105 juta data KPU.
Selain itu, melalui grup Telegram miliknya, ia menyebarkan data pribadi sejumlah pejabat publik, seperti mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate. Data yang bocor tersebut mencakup NIK, nomor kartu keluarga, alamat, nomor telepon, nama anggota keluarga, hingga ID Vaksin.
Baca Juga: Tak Cuma di Indonesia, Kasus Kejahatan Siber Bikin Negara-Negara Besar Kewalahan
Sementara itu, beberapa minggu yang lalu, BSI menjadi korban serangan LockBit 3.0 yang menyebabkan gangguan layanan perbankan ATM maupun mobile banking selama hampir lima hari. Dilansir dari akun Twitter @darktracer_int, LockBit mengklaim berhasil meretas 15 juta data nasabah dan pegawai serta 1,5 terabyte internal data.
Menanggapi hal tersebut, akademisi sekaligus praktisi bisnis Rhenald Kasali menyatakan bahwa kejahatan siber (cybercrime) akan terus meningkat seiring dengan kemajuan teknologi informasi.
“Kalau saya baca lagi data dari Statista, bisnis yang ditangani oleh para pelaku cybercrime ini semakin hari semakin eksponensial naik terus ke atas karena bisnisnya sangat mudah dan menghasilkan uang yang sangat besar,” kata Rhenald Kasali, dikutip dari kanal Youtube-nya pada Selasa (23/05/2023).
Ia mengutip data Statista bahwa pada tahun 2023 nilai kejahatan siber mencapai US$11 triliun. Bahkan, pada tahun 2027 jumlahnya bisa mencapai US$23,8 triliun. Dari jumlah tersebut, baru US$173,5 miliar dana yang dikucurkan untuk peningkatan keamanan siber.
“Sementara kalau pasang benteng, biayanya tidak perlu sebesar itu. Saya baca dari beberapa sumber, biaya keamanan siber (cybersecurity) itu baru mencapai sekitar US$173,5 miliar. Dan ini adalah upaya untuk menciptakan upaya keamanan siber,” bebernya.
Sementara itu, Amerika Serikat telah membentuk National Initiative For Cybersecurity Education (NICE) untuk memperkuat keamanan siber mereka.
“Nilai bisnis di sini sangat besar sehingga Amerika Serikat terpaksa membentuk banyak inisiatif baru, di antaranya saya membaca mereka telah membentuk NICE. Jadi mereka benar-benar menciptakan orang dari sistem edukasi karena permintaan yang besar. Mereka saat ini sudah mengambil SDM sekitar 925.000 dan masih kurang 500.000 lagi untuk mengawal keamanan siber,” ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement