CENTRIS Sebut China Tidak Bisa Jelaskan Kondisi Perempuan di Tibet
Konvensi Internasional CEDAW (Convention on Elimination of All Form of Discrimination Against Women) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melakukan kunjungan ke China beberapa waktu lalu untuk melihat langsung kondisi perempuan khususnya yang tinggal dan menjalani hidup-kehidupan di Tibet.
Tinjauan ini dilakukan sejalan dengan semangat Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW) dalam sesi ke-85, kelompok Tibet, yaitu Biro Tibet, Asosiasi Wanita Tibet, dan kelompok Koalisi Advokasi Tibet yang membuat pengajuan ke komite di Tibet.
Perwakilan Thinlay Chukki dan Pejabat Advokasi PBB Kalden Tsomo dari Biro Tibet bersama dengan Presiden Asosiasi Wanita Tibet Tenzing Dolma dan koordinator Koalisi Advokasi Tibet Gloria Montgomery, mengambil bagian dalam sesi peninjauan di China.
Selama sesi peninjauan sepanjang hari, para pakar PBB mengajukan banyak pertanyaan mendesak kepada delegasi China mengenai situasi perempuan di China dan wilayah di bawah kendalinya termasuk Tibet, dan di wilayah administrasi khusus Hong Kong dan Macau.
Lebih dari 40 anggota delegasi Tiongkok menghadiri sesi tersebut. Namun, delegasi, sekali lagi, gagal memberikan tanggapan yang memadai kepada para ahli, sehingga intervensi berulang dari ketua dan pelapor negara mengingatkan delegasi untuk memberikan ‘jawaban spesifik’ atas pertanyaan yang diajukan oleh para ahli.
Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai wajar apabila para ahli menuding delegasi China, enggan memberikan jawaban spesifik terkait kondisi real perempuan di negeri tirai bambu.
Peneliti senior CENTRIS, AB SOLISSA mengatakan delegasi China juga kesulitan menjawab pertanyaan seputar kondisi perempuan di China khususnya Tibet, mengingat sejumlah fakta yang menggambarkan buruknya perlakukan kaum hawa di Tibet, terdokumentasi dengan baik di media massa maupun media sosial.
“Kita mensinyalir delegasi Beijing bingung menjawab pertanyaan yang mengacu pada situasi wanita Tibet di Tibet, dimana para ahli menghujani pertanyaan seperti pemindahan paksa pengembara dan penggembala Tibet atau wanita Tibet menjadi sasaran pelatihan kejuruan gaya militer,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jum’at (26/5/2023).
Belum lagi pertanyaan kondisi pekerjaan berketerampilan rendah dan bergaji rendah, partisipasi wanita dalam pelayanan publik dan diplomatik, lanjut AB Solissa, termasuk dasar hukum penyitaan paspor, akses ke pendidikan dalam bahasa Tibet dan masalah perlindungan kesehatan mental bagi anak-anak Tibet di sekolah asrama.
“Ini membuat delegasi Beijing semakin ‘gelagapan’ karena bisa jadi para ahli yang bertanya menunjukkan fakta terkait hal tersebut,” ujar AB Solissa.
Mengangkat masalah pemindahan paksa pengembara Tibet, petani dan penggembala dari tanah leluhur mereka, para ahli dari CEDAW PBB mengangkat issue tema peluang kerja, orang Tibet khususnya kaum wanita, yang saat ini dikabarkan banyak menjadi sasaran pelatihan kejuruan gaya militer di Tibet.
Merujuk pada temuan para pelapor khusus PBB tentang bentuk perbudakan kontemporer bahwa program transfer tenaga kerja yang ekstensif, telah mengubah sebagian besar petani, penggembala, dan pekerja perempuan pedesaan lainnya menjadi pekerjaan dengan keterampilan rendah dan berupah rendah.
“Dari berbagai pemberitaan di media, jelas sekali tergambar pola rekruitmen masyarakat Tibet sebagai pekerja kasar dengan upar kecil yang dilakukan Beijing untuk mengisi pos-pos industrial mereka, menjurus pada perbudakan,” jelas AB Solissa.
Sehubungan dengan isu-isu ini, para ahli dari PBB meminta China untuk memberikan angka konkret jumlah petani, penggembala, dan pengembara Tibet yang telah dipindahkan secara paksa dari tanah mereka dalam beberapa dekade terakhir dan memberikan data agregat gender.
Para ahli juga meminta klarifikasi seputar pelatihan ketenagakerjaan dengan keterampilan rendah dan berupah rendah kepada pekerja perempuan pedesaan Tibet di bawah program transfer tenaga kerja.
Hal ini merujul pada laporan yang menyehutkan sejumlah wanita Tibet yang menjadi sasaran program pemindahan kerja paksa di seluruh China.
“Sayangnya, delegasi tim besar Cina tidak dapat menanggapi masalah yang diangkat oleh ahli selama sesi tersebut,” tutur AB Solissa.
Sesuai dengan kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik, ahli mengangkat isu tentang keadaan terbatasnya partisipasi perempuan dalam ruang politik dan publik.
Di sisi lain, para pakar Cedaw PBB meminta China untuk menunjukkan upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan atau kandidat untuk posisi politik dan dalam korps diplomasi, termasuk orang Tibet.
Merespons fakta di atas, CENTRIS mengajak seluruh organisasi HAM dan pemerintah negara-negara dunia untuk bergerak, menyelamatkan kaum hawa yang tertindas di Tiongkok.
“Menanggapi jawaban ‘asal-asalan’ delegasi China atas pertanyaan yang diajukan oleh seorang ahli, patut di duga mereka sengaja menyembunyikan getirnya kehidupan wanita Tibet selama ini,” pungkas AB Solissa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement