Co-Founder Nusa Finance: Ekosistem Kripto dengan Pemerintah Indonesia Cukup Akur
Co-founder platform teknologi berbasis jaringan Web3 Nusa Finance, William Sutanto menceritakan soal ekosistem kripto di Indonesia. Menurutnya, ekosistem kripto dengan Pemerintah Indonesia cukup bersahabat dibanding dengan di Amerika Serikat.
Dalam acara temu media dengan Nusa Finance pada Kamis (6/7/2023) lalu, William menjelaskan kondisi ekosistem tersebut sambil menceritakan sejarah FTX yang dulunya disokong SEC, lalu tumbang, dan pemerintah setempat melarangnya.
“Tapi kita di Indonesia mungkin cukup beruntung ya. Karena untuk ekosistem kripto dengan pemerintah itu lumayan akurlah. Mereka cukup bersahabat dengan kripto dibandingkan dengan di Amerika. Di Amerika kan, sejarahnya dengan datangnya FTX. FTX dulunya di-support sama pemerintah oleh SEC, cukup dekat sama FTX. Tapi ketika FTX-nya tumbang, somehow Coinbase [dan lainnya] semua disikat sama mereka,” beber William dengan serius.
Baca Juga: Berangkat dari Kegelisahan, Nusa Finance Hadir sebagai Proyek Blockchain dan Web3 di Indonesia
Namun, William menyinggung soal Blackrock dan Fidelity yang dimasukkan sebagai komoditas berjangka yang diperdagangkan atau exchange-traded future (ETF). Menurutnya, hal tersebut menimbulkan tanda tanya.
“Tapi yang lucu lagi, kemudian Blackrock, Fidelity malah semua lama-lama submit ke ETF. Ini ada apa di belakang? Mungkin ada masalah politik juga di dalam SEC dan segala macam. Ya itu kita menjadi menduga-dugalah ada apa,” tandasnya.
Hampir sama dengan Hong Kong, kondisi kripto di Indonesia juga cukup bersahabat. Bahkan, Pemerintah Hong Kong menganjurkan bank-bank besar untuk mengambil lisensi perdagangan kripto.
“Sebenarnya crypto exchange sudah beradaptasi lama di Hong Kong. Hanya enggak boleh ke ritel. Kalau peraturannya di 1 Juni kemarin, mereka sudah mulai open lisensi untuk perdagangan kripto. Bahkan bank-bank besar pada apply semua untuk license. Kalau di Indonesia, tidak jauh sih,” jelasnya.
Lantas, bagaimana dengan mata uang kripto di Indonesia? William menjelaskan terdapat beberapa tantangan.
“Di Indonesia regulasinya sudah ada, betul, tapi kalau saat ini berada sebagai pelaku di aset kripto, sayangnya kita semua ini masih menjadi calon, calon pedagang aset kripto. Di Bappebti, ada 28, semuanya belum disahkan sebagai pedagang,” ujarnya.
“Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa ditetapkan sebagai calon supaya investor yang mau berinvestasi itu punya trust kepada lembaga pedagang aset kripto. Karena kalau calon, masih bisa putus,” harapnya.
Perkara mata uang kripto beserta bursanya, William menjelaskan masalah perpajakan yang cukup besar untuk transaksi kripto di Indonesia.
“Ada satu hal yang membuat investor ngeri-ngeri sedap, yaitu perpajakan. Karena kalau transaksi misalnya di Binance, itu sudah ada pajaknya, pajaknya nol. Tapi kalau di Indonesia, untuk PPh 0,1%, kalau di platform pajaknya 0,11%. Kita harus sokong dari sekian transaksi kripto di Indonesia. Itu terbilang cukup besar di global,” tutup William.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti
Advertisement