Dengan menggeliatnya tren kendaraan listrik dalam beberapa tahun ke depan, kebutuhan bahan baku bijih nikel juga akan makin tinggi. Di saat seperti ini, harga nikel mentah dunia akan merangkak naik. Apabila ekspor masih dilarang dalam jangka panjang, produsen tambang dalam negeri akan kehilangan produsen surplus akibat tidak bisa menjual nikel di pasar internasional pada harga yang lebih tinggi.
Dari sisi tenaga kerja, hilirisasi yang dibarengi dengan larangan ekspor kemungkinan besar dinilai CIPS tidak akan maksimal dalam menyerap tenaga kerja baru. Hal ini hanya mengalihkan tenaga kerja dari sektor yang memiliki nilai tambah rendah seperti pertambangan ke sektor yang bernilai tambah tinggi seperti industri-industri hasil olahan nikel.
Baca Juga: Kebijakan Hilirisasi Jangan Diikuti Pelarangan Ekspor
Dalam hal ini, ekspektasi mengurangi pengangguran dengan pelarangan ekspor perlu dipertanyakan. Untuk mendorong hilirisasi yang lebih masif, pemerintah melarang ekspor nikel mentah dan mewajibkan agar bijih nikel tersebut diolah terlebih dahulu sebelum akhirnya diekspor. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan dapat menghasilkan produk turunan nikel yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
Hilirisasi nikel membutuhkan pembangunan smelter yang sangat mahal dan membutuhkan investasi yang sangat besar. Hingga 2024 nanti, total investasi yang dibutuhkan untuk membangun 30 smelter nikel baru sebesar US$7,61 miliar.
Layaknya kebijakan proteksionis lainnya, pelarangan ekspor yang diterapkan oleh Indonesia menuai kecaman global terutama dari negara-negara yang bergantung pada pasokan nikel Indonesia. Saat ini, Uni-Eropa telah menggugat Indonesia melalui forum WTO.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait:
Advertisement