Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pertumbuhan Ekonomi Makin Baik, Kok Ketimpangan Makin Lebar?

Pertumbuhan Ekonomi Makin Baik, Kok Ketimpangan Makin Lebar? Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar

Seperti yang ditulis dalam laporan Bank Dunia berjudul A Perceived Divide: How Indonesians Perceive Inequality and What They Want Done About It, di antara 2003 dan 2010, konsumsi tahunan per orang dari 10 persen individu terkaya tumbuh hingga 6 persen setelah disesuaikan dengan inflasi.

Namun, konsumsi tahunan untuk 40 persen individu termiskin hanya tumbuh kurang dari 2 persen. Hal ini tentunya terjadi karena masyarakat miskin tidak memiliki dana untuk melakukan kegiatan konsumsi.

Selain itu, Bank Dunia juga mencatat ada empat faktor yang memperdalam ketimpangan ekonomi di Indonesia. Pertama, terdapat ketidaksetaraan peluang sejak lahir. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin memiliki prospek masa depan yang lebih kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi yang lebih mapan.

Hal ini disebabkan oleh ketidakadilan yang mereka hadapi sejak awal, mengakibatkan penurunan peluang untuk mencapai kesejahteraan. Dalam kondisi ini, sebagian besar ketimpangan terjadi karena faktor-faktor di luar kendali individu.

Kedua, ketimpangan adalah ketidaksetaraan dalam pasar kerja. Individu yang terjerat dalam pekerjaan informal biasanya memiliki pendapatan yang rendah karena produktivitas mereka juga rendah. Keadaan ini menghambat perkembangan mereka karena mereka kalah bersaing dengan pekerja yang memiliki keterampilan tinggi dalam sektor formal.

Terlebih lagi, menurut ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet, pekerjaan-pekerjaan di sektor formal kerap kali mendapatkan benefit-benefit lain yang tidak didapatkan di sektor informal, seperti fasilitas asuransi.

“Mereka juga mendapatkan berbagai fasilitas asuransi dan ketika misalnya mereka terkena bencana ataupun sakit, mereka kemudian bisa menggunakan fasilitas tersebut tanpa harus mengurangi komposisi dari pendapatan mereka," paparnya dilansir dari Tirto, Senin (7/8/2023).

Ketiga, konsentrasi kekayaan yang hanya terpusat pada segelintir orang saja. Dalam hal ini, hanya 1 persen dari rumah tangga terkaya di Indonesia yang mampu menguasai 50,3 persen dari total kekayaan nasional. Indonesia berada di posisi yang hampir sejajar dengan Rusia dan Thailand, negara-negara yang juga menghadapi persoalan ketimpangan sosial yang serupa.

Keempat, kecenderungan masyarakat miskin yang tak siap menghadapi guncangan ekonomi. Jika terjadi krisis ekonomi, masyarakat dari kelompok-kelompok inilah yang akan paling terdampak.

Sebut saja saat terjadi krisis ekonomi akibat dari pandemi Covid-19, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaanya. Akibatnya, banyak kelompok miskin yang mengalami kesulitan pemasukan, sehingga sulit untuk bertahan hidup.

Selain itu, banyak juga dari kelompok tersebut yang belum memiliki asuransi, sehingga jika mereka sakit, mereka terpaksa menggunakan dana pribadi. Hal ini menyebabkan dana untuk pengeluaran sehari-hari mereka terganggu.

Lantas, Apa Solusinya?

Bank Dunia mengusulkan tiga strategi yang dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia guna mengurangi disparitas ekonomi sesuai persepsi masyarakat. Kebijakan pertama yang paling mendapat dukungan dari masyarakat adalah program perlindungan sosial. Ini adalah program yang mendapat dukungan dari seluruh segmen sosial.

Kebijakan kedua adalah penciptaan lapangan kerja, harus mencakup pekerjaan yang berkualitas, berstatus formal, serta menawarkan upah dan manfaat yang layak. Tujuannya, agar kelompok masyarakat rentan dan kurang mampu dapat memperoleh manfaat dari pekerjaan ini. Di samping itu, mereka juga akan mendapatkan manfaat dari pendidikan gratis, kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta investasi dalam infrastruktur.

Kebijakan ketiga yang tidak kalah penting adalah penanggulangan korupsi. Opini ini banyak didukung oleh masyarakat yang memiliki pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini mungkin mencerminkan kenyataan bahwa kelompok ini lebih sering terpapar atau mendengar tentang praktik korupsi dalam skala besar. Bahkan, kelompok ini mungkin juga secara pribadi terdampak oleh tindakan kolusi dan korupsi secara langsung.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika tidak bisa dirasakan seluruh masyarakat Indonesia tentunya akan sia-sia saja. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan yang terbaik untuk membantu mengurangi atau justru menghapuskan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. 

Baca Juga: Sangkal Pernyataan Anies, Pengamat: Ketimpangan Ekonomi Tak Bisa Dilihat dari Gelap Terang Citra Satelit Wilayah

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: