Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan Mulai Diterapkan di Indonesia, Bagaimana Mekanismenya?
Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) menggarisbawahi pentingnya pengendalian perubahan iklim dengan mengukur karbon sebagai indikator kunci. Karbon memiliki nilai ekonomi dan dimensi internasional dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Baca Juga: Resmi Terbitkan Peraturan Perdagangan Karbon, OJK Dorong Instrumen Baru Pembangunan
Untuk mencapai target NDC, Sektor Kehutanan berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030 serta mendukung Net Zero Emission sektor kehutanan guna memenuhi NDC yang menjadi kewajiban nasional Indonesia sebagai kontribusi bagi agenda perubahan iklim global, dengan memperhatikan visi Indonesia yang lebih ambisius dalam dokumen LTS-LCCR 2050.
"Mengingat komitmen Indonesia terhadap target NDC dan pencapaian ambisius untuk Net Zero Emission Indonesia pada tahun 2030 sebagaimana Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, maka diperlukan dukungan dan komitmen seluruh pihak, baik pemerintah, sektor swasta, masyarakat, NGO, dan seluruh aktor sektor kehutanan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim nasional dan global," tegas Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Justianto, dalam keterangannya, dikutip Selasa (29/8/2023).
Agus menjelaskan pendekatan yang dapat digunakan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim dengan melalui Nilai Ekonomi Karbon (NEK), termasuk perdagangan karbon. Perdagangan karbon memiliki dua mekanisme utama: perdagangan emisi dan offset emisi.
Dalam mekanisme Perdagangan Emisi atau yang biasa disebut juga sebagai sistem cap and trade, Para pelaku usaha (perusahaan atau organisasi), wajib mengurangi emisi GRK dengan ditetapkannya Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) atau emission cap.
Setiap pelaku usaha (misal: Sektor Pembangkit listrik) diberikan alokasi sejumlah emisi GRK sesuai batas atas emisi yang dapat dilepaskan/dikeluarkan (cap), dan pada akhir periode, Pelaku Usaha tersebut harus melaporkan jumlah emisi GRK Riil yang telah mereka lepaskan. Pelaku Usaha yang melepaskan emisi GRK yang lebih besar dari batas atas yang telah ditentukan baginya (defisit) maka harus membeli surplus emisi GRK dari Pelaku Usaha lain.
Untuk mekanisme Offset emisi (offset karbon), yang diperjualbelikan adalah hasil penurunan emisi atau peningkatan penyerapan/penyimpanan karbon. Penurunan emisi GRK ini diperoleh melalui pelaksanaan kegiatan/aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim.
Oleh karena itu, biasanya pada awal aksi mitigasi yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, harus bisa dibuktikan terkait praktik atau teknologi yang digunakan (common practice), meliputi praktik/teknologi sebelum adanya aksi mitigasi untuk mengetahui emisi baseline untuk kemudian pada akhir periode, diukur/diverifikasi pencapaian dari hasil aksi mitigasinya melalui proses yang biasa disebut MRV (Monitoring, Reporting and Verification).
Penurunan emisi/karbon ini kemudian digunakan oleh Pelaku usaha untuk dijual atas surplus penurunan (offset) emisinya kepada Pelaku Usaha lain, sehingga pembeli bisa mengklaim telah mengurangi tingkat emisi GRK-nya tanpa melakukan aksi mitigasi sendiri.
Bentuk-bentuk aksi mitigasi yang dapat menurunkan emisi GRK melalui penyerapan dan penyimpanan karbon sebagaimana diatur dalam Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023 dilakukan melalui 22 (dua puluh dua) aksi mitigasi, antara lain: Pengurangan laju deforestasi lahan mineral, lahan gambut serta mangrove; Pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral, lahan gambut dan mangrove; Pembangunan hutan tanaman; Pengelolaan hutan lestari (melalui Multiusaha Kehutanan, Reduce Impact Logging-Carbon dan Silvikultur Intensif), Rehabilitasi hutan dan lainnya, sehingga aksi mitigasi secara nyata oleh Pelaku Usaha pada Sektor Kehutanan sangatlah penting dalam penurunan emisi GRK dan pengendalian perubahan iklim.
Baca Juga: Akhirnya Keluar Juga, ini Dia Aturan Main Pedagangan Karbon di Bursa Karbon
Provinsi Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat memiliki potensi besar dalam mendukung penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan. Terdapat 77 Unit Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di wilayah ini, dengan sebagian besar sudah memiliki sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (S-PHL).
Oleh karena itu, implementasi Pengelolaan Hutan Lestari yang dilakukan oleh PBPH akan memberikan dampak yang nyata dalam aksi penurunan emisi GRK, ditambah dengan luasnya Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Riau mencapai 5,36 juta ha (55,76%), di Provinsi Sumatera Barat seluas 153.859 ha (1,60%) dan di Provinsi Kepulauan Riau seluas 16.284 ha (01,7%). Perlindungan lahan gambut dari kebakaran hutan dan lahan merupakan bagian dari upaya pengendalian perubahan iklim.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ayu Almas
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait:
Advertisement