Semenjak masa pandemi Covid-19, pasar e-commerce Indonesia telah berkembang begitu pesat. Pasalnya, kebiasaan berbelanja masyarakat Indonesia mayoritas sudah beralih dari belanja luring ke daring. Banyak masyarakat menilai bahwa berbelanja melalui daring lebih menguntungkan, efektif, dan efisien.
Sayangnya, pasar e-commerce Indonesia tidak hanya diisi oleh produk-produk lokal saja, melainkan produk impor pun turut menjamur. Akibatnya, pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal banyak yang merasa terancam.
Baca Juga: Mengintip Strategi Pemasaran Wuling, Salah Satunya Ciptakan Kerja Sama dengan E-Commerce
Merespon hal tersebut, pemerintah Indonesia pun telah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No.50/2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menyampaikan bahwa dalam revisi peraturan tersebut disebutkan ada tiga poin utama yang digadang-gadang akan membantu UMKM lokal mendapatkan momentumnya di pasar e-commerce Indonesia.
Pertama, menetapkan harga minimum jual barang impor. Diketahui bahwa nilai minimum untuk menjual barang impor di e-commerce adalah $100 atau sekitar Rp1.500.000. Jadi, untuk barang di bawah harga tersebut akan dilarang dijual di pasar e-commerce.
"Barang yang dijual itu juga ada harganya, masa kecap satu harus impor, yang benar saja, sambel, UMKM kita kan bisa bikin sambal, misalnya. Maka saya usulkan harganya USD 100 (Rp1,5 juta)," ujarnya kepada media, di Hotel Four Seasons, Jakarta, Jumat (28/7).
Kedua, menetapkan pajak barang impor yang dipasarkan di Indonesia sama dengan pajak UMKM lokal. Jadi, untuk barang-barang impor yang dijual di pasar Indonesia harus membayar pajak dengan persenan yang sama dengan barang-barang buatan UMKM lokal.
“Izin, pajak harus sama, kala masuk barang harus kena pajak," lanjutnya.
Ketiga, melarang suatu platform e-commerce atau marketplace untuk menjual produk yang mereka produksi sendiri. Usulan ini muncul setelah ada isu terkait Project S TikTok.
Sebagaimana diketahui, TikTok saat ini tidak hanya merupakan platform social media saja, tetapi juga merangkap sebagai e-commerce.
Dan beberapa waktu lalu muncul isu bahwa platform dari Tiongkok tersebut akan memanfaatkan database dari pengguna TikTok di Indonesia untuk memproduksi suatu barang atau disebut dengan Project S. Sehingga, barang yang dihasilkan tersebut sesuai dengan minat masyarakat Indonesia.
Hal tersebut dianggap akan mematikan UMKM lokal Indonesia, sehingga pemerintah pun menetapkan aturan pelarangan bagi suatu platform untuk memproduksi barangnya sendiri.
“Dia kan platform. Contohnya TikTok, bikin sepatu merek TikTok nggak boleh. Jadi tidak diborong semua sama satu platform digital itu," pungkasnya.
Zulhas juga mengatakan bahwa revisi Permendag ini merupakan suatu harmonisasi antar kementerian, jadi tidak hanya dari Kemendag saja. Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham), serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop-UKM) dikabarkan turut terlibat dalam pembicaraan revisi Permendag ini.
"Jadi Permendag 50/2020 itu sudah kita bahas lama. Namanya Permendag itu kan harus diharmonisasi antar kementerian,” imbuhnya.
Melalui revisi Permendag ini, diharapkan bahwa produk-produk lokal buatan UMKM bisa lebih bersaing dan tidak tenggelam karena hadirnya produk-produk impor di pasar e-commerce Indonesia.
Menjamurnya Produk Impor di Indonesia di Pasar E-Commerce Indonesia
Tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah produk-produk impor sangatlah banyak di pasar Indonesia. Terlebih lagi, hadirnya e-commerce memungkinkan penjual dari luar negeri bisa langsung menjual produk kepada konsumen di Indonesia tanpa perlu melakukan proses impor, membuat produk-produk impor semakin menjamur di Indonesia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa 93% produk yang dijual di marketplace merupakan barang impor. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah produk lokal sangatlah minim, yakni hanya sekitar 7% saja yang beredar di marketplace Indonesia.
“Data asosiasi e-commerce menunjukkan kecenderungan 93% barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Artinya, produk lokal hanya 7%,” ungkapnya, dilansir dari kanal YouTube CNBC Indonesia, Senin (4/9/2023).
Banjir barang impor yang ditawarkan oleh toko online (e-commerce) ternyata tak lepas dari tingginya permintaan konsumen. Konsumen Indonesia menyukai barang yang menawarkan harga murah. Bhima mengungkap bahwa hal tersebut bisa terjadi karena mayoritas penduduk Indonesia merupakan kelompok masyarakat kelas menengah.
Kelompok masyarakat ini lebih mementingkan barang murah ketimbang kualitas. Barang-barang impor memberikan harga lebih murah ketimbang barang lokal.
“Soal harga jelas barang impor lebih murah. Apalagi sekarang Alibaba sudah masuk dan jualan di Lazada dari segi harga bisa dicek barang mereka lebih menarik dan lebih murah,” tukasnya.
Bhima juga menjelaskan alasan mengapa barang impor bisa cenderung lebih murah dibandingkan dengan barang lokal. Hal tersebut dikarenakan banyak barang impor yang diperdagangkan di toko online belum dikenakan biaya masuk sesuai. Sehingga, harga yang ditawarkan pun bisa lebih murah ditambah lagi ada diskon besar dari e-commerce untuk produk impor.
“Pemerintah terlalu takut dengan kebijakan World Trade Organization (WTO) sehingga tak berani buat aturan bea masuk yang tegas padahal produk lokal harus dilindungi,” imbuhnya.
Revisi Aturan Permendag Tuai Protes dari Sektor Logistik
Lain halnya dengan sektor UMKM yang diuntungkan dengan adanya revisi aturan Permendag No.50/2020, sektor logistik justru dikabarkan akan mengalami kerugian karena revisi peraturan tersebut.
Ketua Dewan Pakar Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Nofrisel menjelaskan bahwa aturan pelarangan impor produk dapat berimplikasi terhadap sektor logistik. Pasalnya, sektor logistik itu ada karena keberadaan suatu barang. Ia khawatir bahwa dengan diterapkannya peraturan baru ini akan membuat keberadaan barang tidak ada, yang nantinya tentu saja akan berdampak pada sektor logistik.
“Bisa berimplikasi pada aktivitas lain, seperti logistik. Karena bagaimanapun logistik itu tidak ada kalau tidak ada barang. Salah satu produsen barang itu melalui trading gitu, ketika perdagangan itu kita coba kasih constraint, misalnya melalui pembatasan dan segala macam, implikasinya kan terhadap keberadaan barang gitu," jelasnya dikutip dari kanal YouTube CNBC Indonesia, Senin (4/9/2023).
Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa setelah aturan pelarangan impor tersebut diterapkan, diperlukan upaya-upaya yang bisa mendorong UMKM lokal tumbuh dengan cepat. Dengan begitu, barang akan tetap ada, sehingga sektor logistik tidak macet.
“Yang kita pentingkan sebetulnya sekarang adalah seberapa cepat integratif planning itu. Jadi, misalnya setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan ini, apa daya dorong yang bisa kita lakukan agar UMKM domestik itu bisa bertumbuh dengan cepat, sehingga barang itu tetap ada. Jadi, jangan sampai itu dilakukan tanpa kita imbangi dengan upaya-upaya untuk membangun situasi kompetitif atau produksi dari barang-barang yang ada di domestik,” lanjutnya.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman jika pelarangan impor ini dilakukan ada potensi pendapatan negara dari pajak triliunan per tahun akan hilang sekitar Rp1,5 hingga Rp2,5 triliun. Pasalnya, pengangkutan barang lewat pesawat udara (crossborder) ini adalah pendapatan umum (revenue generator) bagi negara dari sisi pajak.
Diketahui bahwa sektor e-commerce crossborder dan logistiknya telah berkontribusi besar pada pemulihan perekonomian negara berkat ekspor crossborder UMKM ke-6 negara ASEAN, logistik di Indonesia saat ini juga menjadi sektor paling tinggi pertumbuhannya, berdasarkan hasil BPS untuk triwulan 1 2023 sebesar y-on-y 15,93%.
Akankah Aturan Baru Benar-Benar Bisa Lindungi UMKM Lokal?
Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE), Sonny Harsono, justru menilai alih-alih melindungi UMKM, kebijakan larangan impor di bawah US$ 100 (Rp1,5 juta) justru akan memberikan multiplier effect (efek berganda). Menurutnya aturan itu akan membahayakan UMKM. Ekses masalah yang timbul juga diyakini jauh lebih besar, termasuk importasi ilegal yang membuat kerugian negara, serta peningkatan perilaku koruptif.
"Dan yang paling penting adalah UMKM-nya sendiri malah dirugikan. Kita sudah bersurat, menyampaikan keberatan kita. Kita akan eskalasi, tapi kalau semua cara mentok, kita akan ambil langkah hukum, kita akan gugat kebijakan ini ke PTUN. Ini kan sebenarnya menciderai nama Indonesia juga. Karena pasti akan digugat juga oleh WTO. Jadi pemerintah Indonesia di dalam negeri digugat, di luar negeri juga akan digugat oleh pihak lain," bebernya dikutip dari Detikfinance, Senin (4/9/2023).
Sonny menyarankan bahwa jika ingin melakukan proteksi terhadap UMKM lokal, pemerintah bisa lebih fokus untuk mendorong keunggulan kompetitif dari UMKM lokal dibandingkan dengan melakukan pelarangan produk impor.
“Negara lain belum tentu semaju kita, negara lain belum tentu memiliki bonus demografi seperti kita, negara lain belum tentu memiliki potensi penggunaan internet dan platfrom segede kita. Jadi, dengan semua advantage tadi, daripada dilarang, lebih baik dibuat semacam dukungan. Daripada fokus dengan pelarangan, lebih baik fokus mendorong yang ada untuk bisa memiliki kompetitif advantage,” tuturnya.
Selanjutnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menyebut bahwa niat baik pemerintah untuk melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perlu mempertimbangkan kondisi pasar bebas yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia.
"Ada aturan-aturan internasional yang tidak bisa kita salahi dan ini mesti berhati-hati dari sisi itu," kata Shinta saat ditemui usai peluncuran Festival Apindo UMKM Merdeka, Jumat (28/7/2023).
Ia menilai bahwa dari segi harga, produk lokal memang sulit bersaing dengan produk impor yang jauh lebih murah. Shinta memahami bahwa pembuatan aturan tersebut sebagai peran pemerintah di awal untuk mendorong UMKM untuk memiliki kesempatan bersaing.
Meskipun begitu, ia berharap agar perlindungan UMKM tidak hanya sekedar dari sisi aturan pelarangan produk impor di marketplace, tetapi juga menjadikan produk-produk UMKM lokal bisa berkompetisi di pasar domestik maupun pasar global.
"Kalau produk impor memang awalnya perlu dibantu pemerintah, jadi memang harus dibuat aturan. Tapi kita juga harus berhati-hati dengan peraturan internasional," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement