Ahli hukum menilai pendekatan total loss yang digunakan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kejaksaan Agung untuk menetapkan kerugian keuangan negara sebesar Rp8,03 triliun dalam kasus dugaan korupsi pengadaan BTS 4G, tidak tepat dan prematur. Dalam penghitungan tersebut, BPKP tidak mempertimbangkan bahwa pekerjaan masih berlanjut dan ada pengembalian uang yang dilakukan oleh konsorsium pelaksana proyek sebesar Rp1,7 triliun kepada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
“Dalam perkara dugaan korupsi, perhitungan kerugian keuangan negara itu harus nyata dan pasti. Apabila pekerjaan masih berjalan, maka belum nyata dan pasti perhitungannya,” kata Dian Puji Nugraha Simatupang, ahli hukum keuangan publik dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia saat memberi ketarngan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi BTS 4G dengan terdakwa Anang Achmad Latif, mantan direktur utama BAKTI Kominfo di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Baca Juga: Tuntaskan Program BTS 4G BAKTI di Daerah 3T, Kemenkominfo Bentuk Satgas
Dian menambahkan, perhitungan kerugian keuangan negara juga harus berdasarkan nilai buku yang wajar, dengan memperhitungkan berapa aset yang berkurang atau ke luar dan berapa yang masuk. “jadi, selain pengeluaran, perlu dilihat, apakah ada tercatat barang yang masuk, apakah ada pertambahan aset, apakah ada pengembalian aset ke kas negara. Pencatatan itu penting untuk membuktikan kerugian yang nyata dan pasti,” ujarnya.
Irmansyah, ahli audit keuangan negara, yang dihadirkan menjadi saksi ahli, juga berpendapat senada. Perhitungan kerugian keuangan negara juga harus mempertimbangkan kejadian-kejadian penting yang bersifat material dan berpengaruh dalam nilai buku atau laporan keuangan.
“Apabila perhitungan menggunakan cut-off date tertentu, misalnya Maret 2022, tetapi ada kejadian-kejadian yang material yang berpengaruh, maka penghitungan tidak boleh berhenti di tanggal cut-off. Apabila kemudian terjadi pengembalian, maka harus ada koreksi atau penyesuaian laporan sebagaimana wajara dilakukan dalam membuat laporan audit. Kecuali, jika memang ada terminasi kontrak,” papar Irmansyah.
Lebih lanjut Irmansyah menjelaskan, metode perhitungan total loss dapat digunakan apabila aset yang diperoleh tidak punya nilai manfaat lagi, Namun, apabila aset tersebut masih memiliki manfaat ekonomis di masa depan, maka perhitungan yang dilakukan harus menggunakan pendekatan selisih harga. “Perhitungan total loss dapat digunakan misalnya apabila kita butuh sepeda gunung, tetapi yang dibeli kemudian bukan sepeda gunung. Namun, apabila yang aset yang dibeli sudah sesuai, meski mungkin ada keterlambatan atau kesalahan prosedur, tetap harus dihitung karena barang-barang tersebut masih dicatat sebagain aset,” papar Irmansyah.
Baca Juga: Jelang KTT Ke-43 ASEAN, Telkomsel Tambah Tujuh BTS 5G
Sebagaimana diketahui, BPKP dan Kejaksaan menyebutkan kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam kasus korupsi pengadaan BTS 4G sebesar Rp 8,03 triliun. Perhitungan ini mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022 dari total 4.200 BTS yang harus dikerjakan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement