Setara, Muhammadiyah dan Pakar Tolak Putusan MK, Dianggap Menyimpang dari Konstitusi
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menyimpang dari fungsinya dalam desain ketatanegaraan Indonesia di era Reformasi.
Hal itu dikatakan Hendardi dalam Webinar Moya Institute Selasa 17 Oktober 2023, menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan syarat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) berusia paling rendah 40 tahun atau telah pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Hendardi menyatakan, MK diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 menjadi Benteng Konstitusi yang bertujuan menegakan keadilan konstitusional. Namun kini, MK telah menjadi lembaga superbody yang putusannya tak bisa dikontrol.
"Putusan terakhir MK tentang syarat calon presiden dan wakil presiden, adalah akumulasi penyimpangan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, didalam menguji berbagai peraturan perundang-undangan," tegas Hendardi.
Beberapa contoh penyimpangan yang dilakukan MK misalnya adalah kerap membentuk norma baru, atau ultra vires. Hal ini, menurut Hendardi, tak seharusnya dilakukan oleh MK.
Kemudian, sambung Hendardi, integritas MK juga rendah dalam menjaga tidak timbulnya konflik kepentingan dalam memeriksa perkara.
"Dalam hal ini, MK telah mempromosikan constitutional evil atau kejahatan konstitusional, atau yang lebih soft nya lagi bisa dimaknai sebagai keburukan konstitusional," ujar Hendardi.
Sementara itu Pengamat isu-isu strategis dan global Prof. Dubes Imron Cotan menganggap putusan MK tersebut telah memicu berbagai reaksi negatif masyarakat.
Salah satu contohnya adalah dikeluarkannya Maklumat Juanda yang ditandatangani oleh lebih dari 200 tokoh, baik dari spektrum pendukung Presiden Jokowi maupun dari spektrum anti-Presiden Jokowi. Kedua kelompok tersebut bersatu mengecam putusan MK.
“Ini berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Jika itu terjadi, kita bisa mundur dari upaya kita menuju Indonesia Emas 2045,” ungkap Prof. Imron.
Ia mendorong sejumlah langkah mitigasi. Pertama, Presiden Jokowi sebaiknya tidak merestui Gibran maju sebagai cawapres, sebagai wujud dari sifat kenegarawanan. Kedua, Gibran menyatakan ketidaksediaannya karena kesadaran bahwa ia masih perlu menyiapkan diri lebih matang lagi.
“Yang bersangkutan punya potensi besar. Jadi, jika Gibran menyatakan ketidaksediaannya karena dia masih pemula, kekhawatiran atas masalah yang kita hadapi bisa dihindari,” jelas Imron.
Selanjutnya langkah mitigasi ketiga kata Imron adalah Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengambil keputusan untuk mrncalonkan Gibran, karena para parpol yang tergabung dalam koalisi tersebut tidak mampu mencapai konsensus.
Diperkirakan tidak semua pimpinan parpol anggota KIM sepakat mengusung Gibran.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SMRC Dr. Sirajuddin Abbas mengungkapkan, hubungan antara partai-partai politik dan para calon presiden, dengan Presiden Jokowi tidak seimbang sejak awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
Hubungan yang tak seimbang itu terlihat baik dalam relasi eksekutif dan legislatif, maupun antara Presiden dengan partai-partai politik.
Hal itu tampak dari approval rating terhadap Presiden Jokowi yang secara konsisten berada di angka 60-70 persen. Sementara disisi lain, approval rating terhadap DPR dan partai-partai lebih rendah, yang menyebabkan kesenjangan pengaruh dan kredibilitas antara Presiden dengan DPR dan partai-partai.
"Ini menjadi beban bagi partai-partai politik dan para calon presiden, karena kita lihat dalam setahun terakhir pengaruh Presiden Jokowi terhadap calon-calon presiden terkuat, sangat besar," ungkap Sirajuddin.
"Dan bisa dikatakan dalam kasus pak Prabowo, endorsement dan persepsi baik tentang hubungan Presiden Jokowi dengan pak Prabowo adalah penyumbang terbesar penguatan elektabilitas Pak Prabowo sejak November 2022 hingga saat ini," tambahnya.
Sehingga, lanjut Sirajuddin, dalam konteks transisi kekuasaan Presiden Jokowi dibebani harapan yang sangat besar dari para calon presiden maupun partai-partai politik.
Situasi inilah, yang menurut Sirajuddin melahirkan kebutuhan melibatkan Presiden Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2024. Sebelumnya, telah muncul ide perpanjangan masa jabatan dan diperbolehkannya 3 periode pemerintahan bagi Presiden Jokowi.
"Dan saat ini ketika dua pintu itu sudah tertutup, muncul lagi ide untuk menarik putra Presiden Jokowi ke dalam pusaran kekuatan. Tentu pak Prabowo berharap berkah elektoral ini akan mengalir ke beliau, dengan demikian prospek kemenangan dalam pertarungan ke tiga kali sebagai calon presiden, bisa dimenangkan secara lebih efisien," ungkap Sirajuddin.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah menyatakan tak terlalu terkejut dengan putusan MK tersebut. Karena dirinya sudah mendengar adanya kabar tersebut beberapa waktu lalu.
Abdul Mu'ti menyatakan seperti sudah ada skenario besar oleh pihak tertentu agar gugatan tentang syarat pernah menjadi kepala daerah itu dikabulkan.
"Dan memang putusan MK itu sangat kasat mata, sangat celaka, seperti film-film Indonesia yang endingnya mudah kita tebak. Tidak seperti film-film Hollywood yang sulit kita terka endingnya," ujar Mu'ti.
Dia melanjutkan, ada persoalan serius di negara ini, ketika hukum hanya dipandang dari segi formalitasnya saja.
Banyak regulasi, termasuk Undang-Undang Dasar, yang miskin atau bahkan kehilangan dimensi batiniahnya.
"Sehingga banyak hal terkait aspek legal atau hukum, menjadi instrumen bagi kepentingan tertentu," ujarnya.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, mengatakan bahwa keputusan MK telah mengabaikan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan politik jangka pendek. Keputusan ini berpotensi mempengaruhi pandangan positif publik terhadap integritas MK dan pemerintah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement