Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Filipina Jadi Sasaran China, Pakar Dorong Persatuan di ASEAN

Filipina Jadi Sasaran China, Pakar Dorong Persatuan di ASEAN Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Laut China Selatan (LCS) kembali memanas setelah China dengan kapalnya melakukan pemblokiran dan penembakan meriam air (water cannon) terhadap dua kapal milik Filipina. Insiden ini masih hangat lantaran terjadi pada Minggu (10/12/2023) lalu.

Peristiwa tersebut bukanlah yang pertama pada 2023 sebab China beberapa kali melakukan provokasi terhadap Filipina di LCS. Setidaknya ada tiga insiden terjadi antarkedua negara itu.

Baca Juga: Prabowo-Gibran Akan Kembangkan Ekonomi Kelautan untuk Tingkatkan Hasil Perikanan Negara

Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Filipina Letnan Jenderal (Letjen) Purnawirawan (Purn.) Agus Widjojo menyatakan, aksi pertama China pada 2023 terjadi ketika Negeri Tirai Bambu menembakkan sinar laser berkekuatan tinggi ke arah kapal BRP Malapascua milik Penjaga Pantai Filipina (Phillipine Coast Guard/PCG).

"Pada 13 Februari 2023 China menembakkan sinar laser ketika kapal milik Filipina sedang melakukan patroli maritim. Ini menandai babak baru sengketa di laut tersebut," kata Agus sebagai pembicara utama dalam seminar Forum Sinologi Indonesia (FSI) berjudul "China, Filipina, dan Ketegangan Kawasan Asia Tenggara", di Jakarta, Kamis (14/12/2023).

Dubes RI untuk Filipina menambahkan, pada tanggal 5 Agustus 2023 terjadi penembakan meriam air oleh kapal Penjaga Pantai China (China Coast Guard/CCG) terhadap kapal PCG di Ayungin Shoal, saat sedang mengawal kapal pemasok logistik Kapal Angkatan Laut Filipina Sierra Madre.

"Sierra Madre adalah kapal pengangkut kendaraan perang era Perang Dunia Kedua yang didamparkan di Ayungin Shoal dan dijaga oleh sebuah regu militer Filipina untuk menandai hak berdaulat Filipina atas wilayah tersebut," ujar Agus.

Lebih lanjut, Agus memaparkan gambaran mengenai hubungan antara China dan Filipina. Ini termasuk awal mula konflik antarkedua negara yang dilatar belakangi sengketa wilayah di LCS.

“Tahun 1949 China mengumumkan sebuah istilah baru, yaitu 'nine dash line' (sembilan garis putus-putus), yang berisi klaim sepihak atas wilayah teritori perairan sekitar LCS/WPS  (Laut Filipina Selatan), bahkan selanjutnya China menetapkan 'ten dash line' (sepuluh garis putus-putus),” paparnya.

“Sedangkan Filipina berpegang teguh pada hukum laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982 dan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag tahun 2016 yang memenangkan Filipina atas klaim LCS /WPS dari China,” lanjut mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini.

Meski ketegangan semakin meningkat, Agus berpendapat bahwa kedua belah pihak akan terus menahan diri dan berupaya tetap menggunakan jalur diplomasi untuk penyelesaian konflik. Menurutnya, kebijakan Presiden Filipina Marcos Jr. yang menekankan agar Filipina menjadi "a friend to all and an enemy to none", memegang peran sangat penting dalam rangkaian peristiwa ini. 

Adapun mantan Gubernur Lemhanas ini menilai, Filipina memandang penting persatuan dan konsolidasi Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN dalam penyelesaian sengketa wilayah teritorial di LCS yang juga melibatkan Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. 

"Penyelesaian Code of Conduct (tata perilaku) di LCS merupakan prioritas utama bagi Filipina. Meski demikian, bukan tidak mungkin terjadi peningkatan eskalasi hingga terjadinya perang," ungkap Agus.

Agresivitas China di Laut China Selatan

Baca Juga: Ganjar Pastikan Regulasi Kelautan Berpihak pada Nelayan

ASEAN dinilai perlu memperkuat persatuan dan bersikap lebih tegas menghadapi China yang bertingkah semakin agresif di LCS. Apalagi, tindakan Beijing kerap menyenggol Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejumlah negara ASEAN.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: