Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) RI M. Herindra mengungkapkan sulitnya melakukan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) baru ke produsen luar negeri.
Herindra mengatakan, membeli alutsista baru membutuhkan waktu yang lama. Dia mencontohkan pengadaan 42 unit pesawat tempur Rafale yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
“Pesawat baru itu akan datang dan combat ready tujuh tahun yang akan datang. Oleh karena itu di saat tidak ada perang, maka kita gunakan untuk membangun kekuatan pertahanan negara,” kata Wamenhan dalam diskusi di Media Center Indonesia Maju yang bertajuk ‘Membangun Kekuatan Pertahanan di Kawasan Regional’, di Jakarta, Jumat (12/1/2024).
Wamenhan dalam kesempatan ini menekankan bahwa selama memimpin di Kementerian Pertahanan, Prabowo selalu mengadakan diskusi dengan TNI terkait performance prajurit, kebutuhan alutsista TNI, dan pembangunan industri pertahanan dalam negeri.
“Ada beberapa yang harus segera kita perbaiki. Beberapa alat perang kita usianya sudah cukup tua. Untuk itu Kemhan terus berupaya keras agar performa TNI kita optimal. Kita akan berupaya untuk melakukan yang terbaik,” ujar Wamenhan terkait tanggapannya terhadap pengadaan alutsista baru.
Terkait perkuatan kawasan regional, Wamenhan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara non-blok. Artinya Indonesia tidak beraliansi dengan blok tertentu atau netral. Dalam konteks ini Kementerian Pertahanan melaksanakan diplomasi pertahanan dan berteman dengan berbagai negara untuk menghadapi berbagai tantangan di bidang pertahanan.
Baca Juga: Jokowi Puji Kepuasan Menhan Filipina Terhadap Alutsista Indonesia, Begini Respons Timnas AMIN
Senada dengan Herindra, Dirut PT Len Industri Bobby Rasyidin mengatakan sulitnya melakukan pengadaan alutsista. Dia menjelaskan, dari sisi teknis belum tentu alutsista yang dipakai negara NATO cocok dengan yang dimiliki TNI. Oleh karena itu butuh waktu untuk mengumpulkan data dan informasi terkait spesifikasi teknis alutsista yang dibutuhkan.
“Kita harus paham spec tech dan operational requirement-nya. Dan untuk menggodok spec tech dan operational requirement ini, itu bukan hal sehari, dua hari, bisa 1-2 tahun. Pesawat apa yang cocok di Indonesia, ada nggak infrastruktur pendukungnya, ada nggak kru yang bisa langsung on board ke sana. Bagaimana kru pendukng dan karakteristik ancaman yang ada di Indonesia. Itu dipelajari semua, lahir lah spech tech dan operational requirement, itu take time,” ucap Bobby.
Tak cukup sampai disitu, sambung Bobby, pemerintah harus berdiskusi intens dengan pabrikan pembuat alutsista untuk menentukan spesifikasi yang diinginkan, misalnya navigasi sistem hingga mesin yang dibutuhkan karena semua alutsista yang dipesan harus dimodifikasi oleh pabrikan sampai akhirnya alutsista tersebut dikirim ke tanah air. Semua proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama.
“Apalagi kebijakan geopolitik Indonesia di tengah. kita non aliansi, non blok. Tidak gampang mau beli F35, saya punya uang dan seterusnya. Tidak se-simple itu. Kita butuh yang namanya power of diplomacy,” ungkap Bobby.
Lebih jauh Bobby melanjutkan, Menhan Prabowo terus melakukan diplomasi pertahanan dengan sejumlah negara sehingga Indonesia bisa lebih mudah mengakuisisi sejumlah alutsista terkini.
“Satu lagi bagi kami industri pertahanan, kami dapat TOT (Training of Trainer). Kami dapat teknologi transfer dari principal-principal. Ini yang sangat komprehensif sekali. Itu tidak lepas dari diplomasi pertahanan dari Kemenhan,” pungkas Bobby.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement