Soal Perang Israel-Palestina, Defend ID Ngaku Tak Pasok Senjata ke Daerah Konflik
Holding BUMN industri pertahanan, Defend ID menegaskan tak pernah mengirim senjata atau alat utama sistem persenjataan (Alutsista) ke Israel maupun kelompok Hamas.
Direktur Utama Holding BUMN Pertahanan Defend ID, Bobby Rasyidin memastikan seluruh anggota holding tak pernah menyuplai Alutsista ke negara yang tengah berkonflik itu. Pasalnya, kata Bobby, produksi senjata untuk ekspor harus dilakukan hati-hati dan melalui izin Kementerian Pertahanan.
“Untuk kita mengekspor ini, harus ada tanda tangan di Kementerian Pertahanan, kalau enggak ada izin kita enggak boleh ekspor," ucap Bobby di Kementerian BUMN Jakarta, Selasa (10/10/2023).
Baca Juga: Serangan Siber yang Targetkan Israel Meningkat setelah Serangan Hamas Palestina, Apakah Berdampak?
Bobby menjelaskan, pengawasan yang ketat terhadap ekspor Alutsista mencakup tujuan negaranya, penggunaannya, termasuk dokumen administrasi terkait Defend ID sebagai produsen. Selain itu, ekspor Alutsista juga harus mengacu pada ketentuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ekspor tak boleh dilakukan ke negara-negara yang konfliknya berkaitan dengan isu kemanusiaan.
Bobby mengungkapkan dampak konflik Hamas dan Israel terhadap industri pertahanan dalam negeri. Menurutnya, industri pertahanan Indonesia tidak terpengaruh konflik tersebut.
“Nah, alhamdulillah dari buahnya konflik-konflik ini tidak ada yang mampir di industri pertahanan kita, jadi ekspor kita tidak terpengaruh sama sekali. Tidak ada yang minta. Dari sisi baiknya, senjata kita tidak digunakan untuk bunuh manusia. Itu yang paling penting, positifnya," ungkapnya.
Meski begitu, Bobby menyebut sisi negatifnya adalah masih ada pekerjaan rumah agar Defend ID berada di global supply chain atau rantai pasok global dari teknologi atau industri Alutsista.
Di lain sisi, Bobby menyebut ada efek lain yang dirasakan seluruh industri pertahanan dunia ketika terjadi konflik geopolitik. Ia mencontohkan seperti yang dialami pabrikan pesawat asal Amerika Serikat, Lockheed Martin.
Bobby mengungkapkan backlog produksi pesawat yang tadinya hanya dua tahun menjadi delapan sampai tujuh tahun.
“Konflik ini tidak terjadi kemarin saja (Israel-Palestina). Ketika Rusia invasi ke Ukraina, itu hampir semua saham industri pertahanan terbang karena backlog-nya jadi panjang. Misal Lockhead Martin yang bikin pesawat di sana dua tahun, sekarang kalau tak salah jadi 7-8 tahun. Jadi order hari ini, baru delapan tahun lagi pesawatnya ada," ujarnya.
"Kemudian, banyak juga negara tidak mau ekspor lagi. Seperti 1-2 bulan lalu, China sudah tidak mau ekspor drone karena bagi Pemerintah China, drone ini classified technology, teknologi krusial, dan kritikal buat Pemerintah China," tambah Bobby.
Baca Juga: Perang Hamas vs Israel Pecah, Pemerintah RI Fokus pada Keselamatan Warga Sipil
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement