Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Hukum Tata Negara: Isu Pemakzulan Presiden Hanya imajiner, Tidak Mempunyai Basis Konstitusional

Pakar Hukum Tata Negara: Isu Pemakzulan Presiden Hanya imajiner, Tidak Mempunyai Basis Konstitusional Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid memberi respons atas usulan pemakzulan Presiden Jokowi yang mencuat setelah sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 yang mendatangi Menko Polhukam Mahfud MD.

Fahri berpendapat, bahwa pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden harus memenuhi anasir-anasir absolut yang bersifat measurable yaitu: terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; tindak pidana berat lainnya; atau perbuatan tercela; maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mutlak tingkat keterbuktiannya "attainable", artinya diluar "article of impeachment" sebagaimana rumusan konstitusi itu, maka tidak cukup alasan atau berdasar untuk malakukan pemakzulan presiden.

Fahri menilai manuver yang dilakukan oleh petisi 100 itu sifatnya politis, dan lebih berorientasi pada upaya mendelegitimasi Pemilu 2024, ini sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini, sebab secara konstitusional discourse terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka.

Fahri Bachmid menguraikan bahwa lembaga Pemakzulan/Impeachment Presiden telah diatur secara limitatif dalam konstitusi (UUD NRI 1945), seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B, yang mengatur bahwa 

"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden" selanjutnya "Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".

Ketentuan terkait proses tersebut kemudian diajukan Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, ketika proses telah beralih pada MK, maka Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.

Fahri Bachmid menguraikan bahwa "Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR" langkah selanjutnya adalah MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut" dan Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR, dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan presiden dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum, tutup Fahri Bachmid.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: