Ramai Isu Penggunaan Hak Angket DPR RI Soal Penyelenggaraan Pemilu, Pengamat: Jokowi Menuai Apa yang Dia Tanam!
Pengamat politik sekaligus peneliti Exposit Strategic, Arif Susanto menilai ramai pembahasan soal penggunaan hak angket DPR RI soal penyelenggaraan pemilu 2024 tak lepas dari kiprah Jokowi event besar 5 tahunan tersebut.
Hal ini ia sampaikan di diskusi media GIAD (Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis) "Angket Pemilu: Rilis 30 Nama Anggota DPR Didorong Ajukan Hak Angket" pada Selasa (27/2/24).
Menurut Arif, Hak angket merupakan “hasil” dari apa yang Jokowi tanam selama ini.
“Angket ini sebenarnya merupakan efek negatif dari apa yang sudah ini kan Jokowi menuai apa yang sudah dia tanam, apa yang dia tanam? Penyalahgunaan kekuasaan,” jelasnya.
Penyalahgunaan kekuasaan yang arif maksud adalah sepak terjang Jokowi yang menurutnya telah menunjukkan keberpihakan kepada salah satu paslon (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka)
Arif mengakui memang Jokowi secara terbuka tidak mengungkapkan bahwa ia berpihak pada paslon tertentu. Tetapi kampanye terselubung menurut Arif telah Jokowi lakukan seperti makan bersama Prabowo Subianto atau sering membawa Prabowo dalam beberapa kesempatan.
Baca Juga: Hak Angket Bukan untuk Batalkan Hasil Pilpres 2024, Tapi...
Kekinian pasca pencoblosan, Jokowi menurut Arif makin menunjukkan keberpihakan salah satunya dengan membahas program makan siang gratis Prabowo ke rancangan APBN.
“Presiden sedang menyiapkan APBN yang di dalamnya ada alokasi anggaran program makan siang gratis, ini aneh, sementara KPU belum memutuskan siapa pemenang pemilu tetapi presiden sudah ambil langkah untuk menyiapkan APBN,” jelasnya.
Arif mengungkapkan Jokowi sebelum pencoblosan 14 Februari merupakan sosok King Maker yang menyiapkan calon pemimpin yang dianggap bisa ia tinggalkan pengaruhnya pasca tak lagi menjabat. Setelah 14 Februari menurut Arif, Jokowi menjadi pembela terdepan Prabowo yang mana menurutnya hal itu cukup disayangkan.
Sebagai seorang Presiden sampai Oktober 2024 nanti, Jokowi menurut Arif seharusnya menjaga martabatnya untuk fokus menjalankan tugasnya dan tak terus menerus menunjukkan keberpihakan.
“Saya nggak paham ini, sampai Oktober nanti Jokowi masih presiden Republik Indonesia, kalau saya menyayangkan situasi ini bukan karena saya pendukung Prabowo atau Jokowi, tapi saya adalah bagian dari rakyat Indonesia yang punya hak memiliki presiden yang punya martabat sedangkan Jokowi memerosotkan martabatnya sendiri, bukan dengan jadi king maker tapi jadi pembela paling depan Prabowo yang belum resmi jadi presiden,” jelasnya.
Soal penggunaan Hak Angket, Arif mengungkapkan harus dipandang bukan sebagai sikap partisan masing-masing kubu peserta pilpres. Menurutnya, hak angket harus dipandang sebagai wadah menjawab berbagai persoalan berkaitan dugaan kecurangan penyelenggaraan pemilu yang berkaitan erat dengan mandat rakyat.
Ia pun menilai anggapan yang menyebut hak angket hanya akan membuat kegaduhan merupakan hal yang tidak tepat.
“Saya ingin membalas anggapan yang mengatakan hak angket akan menambah kegaduan politik, nggak, justru sebaliknya kalau tidak ada angket siapa pun punya hak untuk percaya pada isu dan desas-desus pemilu curang, salah satu cara penting supaya jelas untuk kita semua apakah pemilu curang atau tidak ya lewat angket. Saya ingin menegaskan angket salah satu cara untuk menyelesaikan kegaduhan politik supaya tidak seperti ini,” jelasnya.
Sementara itu, Dosen Universitas Bung Karno, Faisal Chaniago mengatakan, hak angket berfungsi untuk mengawasi kinerja eksekutif dan lembaga terkait. Sehingga tidak tepat jika dijadikan upaya untuk menggagalkan Pemilu.
“Hak angket berfungsi untuk mengawasi eksekutif dan lembaga terkait lain. Tidak bisa menggagalkan hasil pemilu. Ranah hukum kecurangan pemilu ada di Bawaslu dan MK,” katanya di Jakarta, Jumat (23/2).
Dia menjelaskan, apabila laporan sudah diterima Bawaslu, maka akan dilakukan penyelidikan. Bilamana ditemukan kecurangan, maka nantinya Bawaslu yang akan menentukan. Mulai dari Pemungutan Suara Ulang hingga Pemungutan Suara Lanjutan. “Soal keputusan kemenangan ada pada MK. MK yang punya domain soal ini,” tegasnya.
Baca Juga: Hak Angket Diperlukan? Pengamat Sebut Ada Persoalan Serius di Pemilu 2024
Mengenai wacana hak angket, Faisal menerangkan, merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak yang tidak bisa menerima kekalahan. Padahal saat ini masyarakat masih menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait perhitungan suara.
“Mereka tidak siap terima atas kekalahan. Mereka belum siap dalam berdemokrasi. Menang kalah dalam pemilu itu wajar. Kalau masyarakat siap. Yang tidak siap itu elit politik. Masyarakat akhirnya bisa bosan melihat tingkah laku elit yang tidak profesional,” tutupnya.
Mengenai dugaan keterlibatan alias cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024, Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie mengatakan belum tentu Presiden Jokowi cawe-cawe di Pemilu 2024.
"Karena pemilu serentak, pilpres dan pilegnya jadi satu, pusat perhatian orang ke Pilpres maka semua kejadian ini yang dipersalahkan pilpresnya, dan pilpresnya ada anaknya presiden, maka semua kasus-kasus di seluruh Indonesia ini di alamatkan gara-gara cawe-cawenya Jokowi, padahal enggak," kata Jimly kepada wartawan di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (26/2), dikutip dari laman kumparan.
"Belum tentu karena tidak mungkin secara nasional Presiden akan bergerilya, secara sengaja pula tidak mungkin," sambungnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait:
Advertisement