Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar: SE Kemnaker Soal THR Ojol Harus Diluruskan

Pakar: SE Kemnaker Soal THR Ojol Harus Diluruskan Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Soal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang memastikan driver ojek online (Ojol) dan kurir logistik akan mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) lebaran 2024 ternyata hanya harapan palsu.

Tahun ini Kemnaker memastikan driver ojek online (Ojol) dan kurir logistik wajib mendapatkan THR Lebaran lewat Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024.

Hal ini disampaikan langsung oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, bahwa driver Ojol dan kurir logistik  masuk ke dalam kategori Pekerja Waktu Tertentu (PKWT).

Namun, Dirjen PHI dan Jamsos kembali mengonfirmasi bahwa SE Kemnaker soal THR Ojol hanya imbauan saja. Perusahaan aplikasi tidak diwajibkan mebayar THR ke driver Ojol dan tidak akan ada sanksi jika tidak memberikan THR kepada driver Ojol. 

Konsultan hukum ketenagakerjaan, Azka Hanani sebut sikap inkonsisten Kemnaker soal THR dan PKWT harus segera diluruskan karena akan memantik perdebatan-perdebatan baru lainnya. Menurutnya, hubungan berbasis kemitraan adalah pola hubungan kerja baru yang perlu diperhatikan payung hukumnya.

”Sejatinya hubungan kemitraan dan hubungan kerja berbentuk kontrak (PKWT) merupakan suatu hal yang sangat berbeda secara fundamental dan tidak dapat dicampuradukkan diantara keduanya karena hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru dikemudian hari. Pertama, hubungan kemitraan lahir dari adanya perjanjian kemitraan, sedangkan hubungan kerja lahir dari perjanjian kerja,” ucap Azka Hanani.

Azka menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara hubungan kerja PKWT dan kemitraan yang tidak bisa dicampuradukkan karena perbedaan hak dan kewajiban di dalamnya. Hubungan kemitraan sendiri sudah diatur dalam Pasal 1618 – Pasal 1652 KUHPerdata terkait persekutuan perdata (maatschap atau vennootschap).

Persekutuan Perdata adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya. Singkatnya, persekutuan perdata hanya menyatukan dua orang atau lebih untuk saling berbagi hasil atas pekerjaan yang sudah disetujui bersama.

Berbeda dengan Perjanjian Kerja yang menjadi dasar dari hubungan kerja PKWT. Perjanjian Kerja berisi perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Di dalamnya, terdapat unsur-unsur pekerjaan, upah dan perintah. Azka sebut bahwa tidak ada unsur upah dan perintah pada hubungan kemitraan antara driver Ojol dan perusahaan aplikasi karena driver tidak memiliki upah tetap bulanan melainkan dari hasil komisi atau persentase suatu pekerjaan. Unsur perintah pun tidak terpenuhi karena perusahaan tidak memiliki kekuasaan mutlak dalam memerintah Ojol untuk menerima orderan.

”Hal ini pun dijawab dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 841 K/Pdt.Sus/2009 dalam perkara antara sopir taksi dan perusahaan taksi misalnya yang menyebutkan bahwa hubungan driver online adalah mitra dan bukan pekerja karena tidak memenuhi unsur upah dan perintah,” jelasnya.

”Perlu digaris bawahi, bahwa hubungan kemitraan tidak terikat dengan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. Sehingga, pemberian aturan THR Lebaran kepada mitra Ojol tidak diatur dan tidak bersifat mengikat,” ungkap Azka Hanani

Azka Hanani menjelaskan bahwa imbauan THR Ojol yang jelas hubungan kerjanya adalah kemitraan dan lewat surat edaran disebutkan bahwa Ojol termasuk PKWT justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum baru bagi ketentuan lainnya. THR hanya sebagian kecil ketentuan penghasilan non-upah yang ada pada sistem hukum ketenagakerjaan.

Jika mengacu pada SE Kemnaker tentang THR Ojol ini, maka akan ada tuntutan-tuntutan baru lainnya yang muncul. Karena selain THR, ada komponen lainnya seperti jaminan sosial, pesangon dan penghasilan non-upah lainnya yang diatur tersendiri oleh perusahaan. 

”Apabila pemberian THR kepada para driver online diberikan dengan dasar Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan karena termasuk hubungan kerja PKWT, hal tersebut dapat menimbulkan suatu ketidakpastian bagi komponen non-THR lain yang telah bersifat normatif dan berlaku bagi para pekerja. Dalam hal ini, pemerintah telah mencampuradukkan antara hubungan kemitraan dan hubungan kerja tanpa memikirkan konsekuensi lebih lanjut dari pernyataan tersebut,” kata Azka Hanani.

Pakar hukum ketenagakerjaan lulusan Universitas Utrecht Belanda ini menegaskan bahwa Surat Edaran Kemnaker soal THR Ojol yang menggabungkan hubungan kemitraan dengan PKWT bukan sebuah solusi yang tepat. Hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi hukum bagi para pengemudi Ojol dan perusahaan aplikasi.

”Jika pola hubungan antara perusahaan dengan pengemudi diubah menjadi pola hubungan kerja, maka perusahaan memiliki kewajiban untuk mempekerjakan para pengemudi, membayar upah tetap bulanan, membayar upah lembur, uang pesangon, dan jamsos. Selain itu, driver online akan terikat dengan perintah yang diberikan oleh pengusaha, ketentuan jam kerja, kewajiban setoran, dan upah bulanan. Sehingga, kebebasan untuk menerima atau menolak suatu order menjadi hilang,” terangnya.

Dampaknya, perusahaan tidak akan mampu mempekerjakan semua pengemudi Ojol yang sudah terdaftar hingga saat ini dan akan berpengaruh terhadap hilangnya lapangan pekerjaan. Walaupun demikian, Azka berharap akan adanya perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan untuk para driver Ojol. Ia berkata bahwa kebergantungan driver Ojol terhadap konsep kerja kemitraan ini sangat rentan.

”Konsep kemitraan sejatinya menekankan pada posisi yang setara antara pihak yang bermitra, artinya tidak ada yang menguasai dan dikuasai,” tegasnya.

Perusahaan akan menjadi dominan karena ketergantungan driver terhadap pekerjaan dari platform sebagai akibat dari terbatasnya lapangan kerja yang layak. Sehingga, peran dan dominasi perusahaan menjadi kuat dan dapat melakukan kontrol terhadap driver tersebut. Seperti, pembuatan aturan dan sanksi secara sepihak yang hanya berujung pada kepentingan perusahaan.

Maka dari itu ketidakkonsistenan isi SE Kemnaker soal THR Ojol dan PKWT harus diluruskan untuk menghindari polemik lainnya. Pemerintah perlu sadar akan perlunya regulasi hukum jelas untuk hubungan kerja kemitraan agar perdebatan mengenai THR Ojol tidak menjadi isu tahunan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: