Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Masa Depan Hilirisasi dan Tantangan Hulunisasi Sawit

Masa Depan Hilirisasi dan Tantangan Hulunisasi Sawit Kredit Foto: Antara/Budi Candra Setya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hilirisasi sawit nasional telah berjalan di Indonesia kurang lebih selama 20 tahun terakhir. Namun, masih ada beberapa tantangan dan pekerjaan rumah dalam program hilisirasi sawit ini.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, menjelaskan ada tiga jalur hilirisasi sawit. Yakni jalur oleofood complex, oleokimia complex dan bioenergy complex. Menurut dia, ketiga jalur hilirisasi tersebut mencatat banyak kemajuan dari berbagai indikator. 

Misalnya, perubahan komposisi ekspor produk sawit Indonesia yang didominasi oleh produk olahan sawit. Porsi bahan mentah baik CPO dan CPKO dalam ekspor sawit telah turun dari 70% pada 2010, menjadi 7-10% pada tahun 2023 silam.

Sebaliknya, porsi produk olahan kian meningkat dari sekitar 30% menjadi 90%. Indikator lainnya yakni peningkatan produksi dan konsumsi biodiesel sawit yang meningkat secara cepat hingga menempatkan Indonesia dalam posisi top 3 produsen biodiesel dunia.

Kendati hilirisasi sawit telah mencatat banyak kemajuan, namun menurut Tungkot kedalaman hilirisasi sawit masih dangkal.

“Ilustrasinya dari skala 10, hilirisasi sawit masih di level 3,” ucapnya ketika dihubungi oleh Warta Ekonomi, Kamis (4/7/2024).

Tungkot menyebut jika hilirisasi sawit masih mendapat batu sandungan ke depannya. Misalnya diversifikasi produk hilir sawit baik untuk promosi ekspor maupun substitusi impor masih terbatas serta bagaimana percepatan pendalaman hilirisasi sawit di Indonesia itu sendiri.

“Dalam oleofood misalnya kita masih impor vitamin A dan E sintetis yang cukup besar setiap tahun (sekitar Rp 3 trilyun) padahal sawit itu lumbung vitamin A dan E terbesar dunia. Kita juga masih impor lemak susu dan lemak coklat yang cukup besar, padahal dari minyak sawit kita bisa hasilkan milk subtitute/ replacer maupun cocoabutter substitute,” jelasnya. 

Tungkot menjelaskan bahwa Indonesia masih mengimpor cukup besar petroplastik, petrolubrican, dan petroeleokmia yang tidak ramah lingkungan. Padahal, dari sawit sebetulnya Indonesia bisa menghasilkan berbagai produk tersebut. 

Sementara dari jalur bioenergy, potensi hilirisasi cukup besar berupa biodiesel untuk pengganti petrosolar. Sawit dari sektor tersebut juga bisa dikembangkan menjadi bensin sawit sebagai pengganti bensin fosil, green diesel yang bisa digunakan sebagai pengganti diesel fosil dan bioavtur yang bisa digunakan sebagai pengganti avtur fosil sehingga makin ramah lingkungan.

Sementara itu, tantangan hilirisasi berikutnya adalah pelaku hulu dan hilir sawit masih berjalan sendiri-sendiri secara sporadis, alhasil, hal tersebut membuat tidak adanya sinergi bahkan sering “saling mengunci”.

Pasalnya, hilirisasi bakal berhasil apabila didukung oleh hulu. Khususnya pada peningkatan produktivitas serta efisiensi kebun sawit.

“Ini masalah tatakelola sawit hulu-hilir (kebijakan lintas kementerian). Maka dari itu, perlu segera dilakukan integrasi dan harmonisasi pengelolaan hulu-hilir sawit, dan omnibus policy dalam satu badan langsung di bawah Presiden,” kata dia.

Melihat berbagai potensi dari hilirisasi sawit dari berbagai sektor tersebut, Tungkot berharap jika pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka makin berkomitmen terhadap pendalaman hilirisasi yang berlanjutan.

Baca Juga: IPB Kenalkan Inovasi Pupuk dari Tandan Kosong Sawit untuk Petani Jambi

Tantangan Hulunisasi dan Target Capaian PSR

Di sisi lain, di sektor hulu perkebunan sawit, ada isu besar yang berkaitan dengan tantangan hulunisasi. Salah satunya adalah produktivitas yang masih rendah, bahkan trend hulunisasi turun di beberapa tahun terakhir. Sementara, HPP (harga pokok penjualan) terus meningkat.

“Produktivitas minyak sawit kita saat ini secara nasional masih sekitar 4 ton/ ha, seharusnya 7-8 ton minyak per hektar. Solusinya adalah replanting dan perbaikan GAP. Untuk replanting khususnya sawit rakyat (PSR) petaninya, kebunya dan dananya ada tapi PSR sangat lambat,” kata Tungkot. 

Adapun menurut Tungkot penyebabnya yakni kebijakan pemerintah yang mempersyaratkan legalitas beraneka macam yang akhirnya tidak bisa dijangkau oleh para petani. Alhasil, program peremajaan sawit rakyat (PSR) tidak berlangsung secara optimal.

“Ini perlu diubah ke depan,” tuturnya.

Pasalnya, tujuan PSR yakni replanting varietas baru, teknologi baru, manajemen baru, serta pembenahan tata kelola yang lebih baik. Oleh sebab itu, diperlukan penyelesaian legalitas kebun sawit petani menjadi satu paket dengan PSR.

Dengan kata lain, ucap Tungkot, legalitas sawit rakyat itu perlu dibenahi bersama-sama baik antara petani maupun pemerintah. Dirinya juga mendesak pemerintah untuk tidak membuat aturan rumit yang tidak mungkin dijangkau oleh para petani.

“Jika PSR ini bisa dipercepat, sawit nasional akan naik secara bertahap. Beberapa contoh saya temui di lapangan hasil replanting sawit rakyat bisa hasilkan setara 5-7 ton minyak per hektar,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: