Menteri-Menteri Jokowi Tak Sanggup, Industri Manufaktur Jadi Beban Berat di Depan Mata Prabowo
Masa kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto periode 2024-2029 akan menghadapi banyak tantangan, salah satunya adalah membangkitkan industri manufaktur, terutama sektor tekstil dan pakaian jadi yang merupakan industri padat karya.
Tantangan ini semakin berat di tengah serbuan barang impor dari negara lain. Sektor manufaktur sangat krusial bagi Indonesia untuk tumbuh menjadi negara maju dan keluar dari jebakan middle-income trap.
Menurut data dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), rata-rata kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada era Presiden Jokowi hanya mencapai 39,12% antara tahun 2014 hingga 2020.
LPEM menilai kondisi ini sebagai tanda-tanda deindustrialisasi dini yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5%. Menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB berdampak pada berbagai industri, termasuk alas kaki, tekstil, dan ban, yang harus menutup sejumlah pabrik akibat kinerja yang terus merosot sejak pandemi. Ditambah lagi, industri manufaktur dalam negeri saat ini tertekan akibat banjirnya produk impor dari negara lain.
Kondisi ini semakin menambah tekanan pada industri keramik Indonesia, yang meskipun mendapatkan perlindungan dari kebijakan antidumping, tetap harus bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar domestik.
Pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor, yang kemudian direvisi menjadi Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Namun, Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Boby Fur Umar, menyoroti ketidaksiapan antara lembaga pemerintah yang mengakibatkan banyak kontainer tertahan dan sistem kuota impor yang tidak efektif.
Baca Juga: 'Ribut' Dua Menteri Disebut Jadi Penyebab Badai PHK Tekstil
Berdasarkan data dari Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis oleh S&P Global, kinerja manufaktur Indonesia tercatat kembali menurun menjadi 50,7 pada periode Juni 2024, angka terendah sejak Mei 2023. Selain itu, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pertumbuhan industri pengolahan dari 2015 hingga 2023 hanya sebesar 4,23%, sedikit lebih tinggi pada tahun 2023 dengan 4,64% secara year-on-year. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB pada 2015 tercatat sebesar 20,97% dan menurun menjadi 18,67% pada tahun 2023.
Industri tekstil dan pakaian jadi, yang merupakan industri padat karya, hanya tumbuh rata-rata sebesar 1,93% sejak 2015 hingga 2023, bahkan terkontraksi sebesar 1,98% pada tahun 2023. Data dari BPS menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor tekstil, pakaian jadi, kulit, dan alas kaki anjlok sebesar 13,9% dari 3.775.191 orang pada 2017 menjadi 3.249.936 orang pada 2021.
Sektor manufaktur tidak hanya menyumbang banyak tenaga kerja formal tetapi juga menjadi sarana bagi Indonesia untuk mencapai masyarakat dengan pendapatan tinggi hingga membuka jalan menuju negara maju.
Tanpa manufaktur yang kuat, sulit bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara kelas menengah. Oleh karenanya, diharapkan pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto dapat kembali membuat industri manufaktur berjaya dan merealisasikan janji kampanye ekonomi RI tumbuh 8%.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement