Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menanti Janji dan Komitmen Prabowo-Gibran dalam Wujudkan Transisi Energi

Menanti Janji dan Komitmen Prabowo-Gibran dalam Wujudkan Transisi Energi Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Pemilu 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, selama masa kampanye berjanji untuk melanjutkan program keberlanjutan dari Presiden Jokowi. Salah satunya transisi energi.

Namun, Yayasan Indonesia Cerah mengaku ragu atas komitmen Indonesia dalam transisi energi tersebut. Pasalnya, ada beberapa kebijakan sektor energi Jokowi yang dianggap kontraproduktif terhadap upaya tersebut.

Baca Juga: MUI Didorong Lebih Proaktif Dukung Prabowo untuk Kesejahteraan Umat Islam

“Apabila tidak ada aksi mitigas yang lebih nyata di pemerintahan baru, seperti pensiun dini PLTU dan pengurangan insentif fiscal maupun non-fiskal pada energi fosil, maka energi terbarukan meski harganya murah, akan sulit bersaing dengan energi fosil yang mendapat dukungan pemerintah,” kata Sartika Nur Shalati, peneliti dari Yayasan Indonesia CERAH dalam diskusi panel berjudul Satu Dekade Presiden Jokowi: Sejauh Mana Transisi Energi Indonesia?, di Jakarta, Jumat (26/7/2024).

Apabila mengacu pada visi misi pasangan nomor urut 02 itu, pemanfaatan energi terbarukan maupun energi bersih dinilai masih kurang progresif. Sartika membeberkan alasannya.

Pertama, masih tidak ada penetapan target persentase energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Meskipun dalam visi misinya pasangan tersebut menyinggung akan merevisi semua aturan yang menghambat untuk meningkatkan investasi baru di sektor energi baru dan terbarukan (EBT), namun terminology energi baru masih mendominasi dan melekat bersama energi terbarukan.

“Sehingga kebijakan di sektor energi kemungkinan besar akan lebih memprioritaskan energi baru yang mencakup turunan energi fosil,” ucap Sartika.

Apalagi, singgungnya, ada beberapa kebijakan yang saat ini menunggu disahkan dan menunjukkan kemunduran besar bagi transisi energi. Misalnya adalah Rancangan UU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang masih disusupi energi fosil.

“Pemerintah dan DPR yang sedang menyusun draf RUU EBET pada awalnya diharapkan mengatur energi terbarukan di Indonesia. Nyatanya, banyak pasal dalam RUU tersebut yang justru bertentangan dengan upaya mempercepat penerapan energi terbarukan,” jelas Sartika.

Hal ini dikarenakan RUU EBET masih menggunakan istilah energi baru yang mencakup energi nuklir dan produk turunan fosil. Yang mana, energi baru merujuk pada penggunaan teknologi pada pembangkit sekalipun yang berasal dari energi tidak terbarukan seperti co-firing serta teknologi penangkapan karbon (CCUS/CCS) yang akan digunakan di industri migas maupun PLTU.

Baca Juga: Menteri-Menteri Jokowi Tak Sanggup, Industri Manufaktur Jadi Beban Berat di Depan Mata Prabowo

Selain itu, kebijakan lainnya yang dinilai bermasalah adalah skenario investasi JETP (Just Energi Transition Partnership) yang merupakan program kerja sama internasional untuk mendorong transisi energi di Indonesia dengan rencana alokasi dana senilai US$20 miliar.

Adapun sumber dananya berasal dari International Partners Group (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). 

Akan tetapi, Sartika menemukan bahwa dana pendukung aksi iklim tersebut didominasi utang sebesar 42,65%.

Baca Juga: Prabowo Bilang Pertanian Bisa Tentukan Nasib Indonesia di Masa Depan

“Sementara sumber lainnya terdiri dari jaminan sebesar 2%, investasi ekuitas sebesar 1,92%, mekanisme lainnya sebesar 1,72%, dan hibah hanya 1,46%,” tuturnya. 

Pihaknya menekan bahwa dominasi utang dalam kerangka mitigasi penurunan emisi itu berpotensi menimbulkan intervensi kepentingan bisnis dari para pihak pemberi dana yang memengaruhi independensi Indonesia untuk menentukan arah kebijakan dan rencana transisi energi yang benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan. 

“Hal ini harus benar-benar dipastikan bahwa tidak ada penyelundupan kepentingan yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dalam upaya transisi energi. Apalagi IPG, diketuai Amerika Serikat (AS) dan Jepang yang memiliki kerja sama dengan Indonesia sektor energi,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, dia menilai jika pemerintahan baru Prabowo-Gibran memiliki pekerjaan rumah yang lebih besar untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 nanti, terutama jika tidak ada aksi mitigasi yang membatasi insentif dan ruang untuk energi fosil serta turunanya.

Atas masalah tersebut, Sartika menyarankan beberapa hal yakni Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk mengubah dan menyesuaikan UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi untuk mendukung dan mempercepat transisi energi sesuai konteks yang dihadapi saat ini.

Selain itu, penggunaan istilah energi baru yang masih mempromosikan energi fosil perlu ditiadakan dalam RUU EBET maupun RPP KEN yang sedang digodok oleh DPR dan DEN.

“Alasannya, dua aturan ini akan menjadi penentu dalam penyusunan dokumen strategis untuk mencapai transisi energi, seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rancangan Umum Energi Daerah (RUED), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL),” tegasnya.

Baca Juga: PLN Nusantara Power Catatkan Produksi 5,6 Juta MWh EBT di 2023

Terakhir, Prabowo-Gibran perlu mengevaluasi agar distribusi Kendaraan Listirk Berbasis Baterai (KLBB) dari hulu ke hilir manfaatnya lebih merata dan menjangkau banyak kalangan, termasuk melalui pengadaan transportasi publik, serta kembali pada tujuan awalnya, yakni mendukung arah transisi energi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: