Senada dengan Ratih, Broto Wardoyo menekankan bahwa Pemerintah Indonesia harus up-to-date dan memahami situasi terkini terkait ketegangan antara China dan Taiwan. Menurutnya, pemahaman ini dibutuhkan agar pemerintah bisa cepat tanggap dalam mengamankan warga negara Indonesia di Taiwan.
Menurut Broto, kemampuan Pemerintah Indonesia untuk cepat tanggap ini penting diasah karena situasi di Selat Taiwan maupun Laut China Selatan makin sulit diprediksi. “China sekarang sudah semakin asertif, atau bahkan agresif di Selat Taiwan dan Laut China Selatan,” tuturnya.
Berbeda dengan era sebelum Xi Jinping, sekarang makin sulit memahami kapan China memberikan lampu hijau, lampu kuning, atau lampu merah. Dengan demikian, menurutnya, China memang telah menjadi ancaman yang makin nyata di kawasan. Tetapi ia juga menggaris bawahi bahwa sikap China sedikit banyak juga terkait dengan respons negara adi daya lain, yaitu Amerika Serikat. “Tak ada dansa yang dimainkan sendirian,” pungkasnya.
Pembicara ketiga, Muhamad Iksan, kembali menekankan pentingnya memberi perhatian bagi dampak ekonomi dalam isu terkait ketegangan China dan Taiwan. “Taiwan menguasai semi konduktor dan ekosistem di dalamnya,” tutur Iksan. Ia juga berasumsi bahwa sangat mungkin salah satu motivasi China untuk menaklukan Taiwan adalah demi menguasai ekosistem semi konduktor itu.
Baca Juga: Menarik China, Langkah Strategis Indonesia Genjot Produksi Migas hingga 2030
Sementara itu, dalam keterangannya, ketua FSI Johanes Herlijanto kembali menekankan pentingnya ASEAN menyuarakan keprihatinan mereka. Senada dengan Ratih, ia memuji pernyataan Menteri Luar Negeri tentang perkembangan lintas Selat pada Agustus 2022, yang menyerukan semua pihak untuk menahan diri secara maksimal dan menahan diri dari tindakan provokatif.
Namun menurut Johanes, seruan-seruan semacam itu, yang menentang penggunaan kekerasan militer dalam mengatasi persoalan antara China dan Taiwan, perlu untuk terus disuarakan secara lebih keras dan konsisten.
Selain itu, ia juga berpandangan bahwa setiap negara ASEAN harus mendukung ASEAN dengan secara individual menunjukkan penolakannya yang tegas terhadap pihak mana pun yang cenderung meningkatkan ketegangan, terutama dengan melakukan manuver militer yang agresif.
“Jadi baik ASEAN sebagai sebuah organisasi, maupun masing-masing negara ASEAN secara terpisah, perlu untuk secara konsisten menyuarakan penolakan penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan isu antara China dan Taiwan,” pungkasnya.
Penolakan ini, seperti dijelaskan oleh Broto Wardoyo, sebenarnya sejalan dengan semangat Indonesia, yang pada 2005 menyatakan “dukungan pada reunifikasi damai China.”
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Advertisement