Terus Dirugikan, Pemegang Polis Tuntut Bos Kresna Life Kembalikan Uang Nasabah
Sejumlah nasabah PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) berteriak meminta Michael Steven selaku pendiri Kresna Grup dan seluruh direksi untuk bertanggung jawab kepada para pemegang polis.
Salah satu pemegang polis Kresna Life, Ferdinan Petro Simanjuntak menyatakan, dirinya bersama pemegang polis lain tidak mendukung proses subordinasi loan yang diajukan oleh manajemen asuransi jiwa kresna karena hal tersebut sangat merugikan nasabah.
"Kami mendukung OJK untuk selalu berada melindungi nasabah dan kami juga minta pertanggungjawaban kepada michael steven serta seluruh direksi asuransi jiwa kresna untuk menyelesaikan tanggung jawabnya kepada para pemegang polis," ujar Ferdinan saat menyambangi kantor OJK di Jakarta bersama sejumlah pemegang polis Kresna Life lain, baru-baru ini.
Baca Juga: Kasus Kresna Life, Modus 'Ali Baba' yang Seharusnya Ditindak Tegas
Ferdinan membeberkan bahwa kedatangannya ke OJK untuk menyampaikan aspirasi dan meminta penjelasan regulator terkait perkembangan likuidasi kasus gagal bayar Kresna Life.
"Kami di sini nasabah asuransi jiwa kresna datang ke OJK untuk bertemu dan berdiskusi serta menyampaikan aspirasi menanyakan tentang status hukum mengenai asuransi jiwa kresna yang sedang dalam likuidasi. Dan setelah mendapatkan penjelasan dari OJK bahwa kami mengetahui proses sedang berjalan dan berlangsung, dan likuidasi juga sedang berlangsung dan diusahakan secepatnya untuk diproses," jelasnya.
Untuk mempercepat penyelesaikan pembayaran klaim kepada pemegang polis, Dia meminta pihak kepolisian segera menangkap Michael Steven yang telah menjadi tersangka dan dinyatakan buron.
"Kepada pihak kepolisian kami minta untuk segera menangkap Michael Steven yang sudah buron dan seluruh direksi agar bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dialami nasabah," pungkasnya.
Lebih lanjut, Ferdinan juga mendukung upaya hukum yang dilakukan OJK kepada Kresna Life. Menurutnya, hal ini dilakukan demi melindungi konsumen, khususnya para pemegang polis Kresna Life. "Kami juga mendukung ojk untuk selalu bekerja melindungi nasabah asuransi jiwa kresna dalam hal ini kami mendukung OJK untuk melaksanakan dan mendukung proses kasasi yang sedang berlangsung," tutur Ferdinan.
Sebagai informasi, pemilik Grup Kresna Michael Steven ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas perkara yang menyangkut PT Kresna Sekuritas. Di luar batas kewajaran, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, Michael Steven masih dapat memenangkan gugatan terhadap OJK dalam tiga kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Menurut Pengamat Hukum Denny Indrayana, ada sejumlah ketentuan peraturan perundangan-undangan yang bisa digunakan untuk menjerat pemilik manfaat sebagai pelaku kejahatan korporasi. Dua di antaranya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Penerapan Tata Kelola Manajer Investasi dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019.
“Pemegang saham itu bukan hanya atas nama yang ada di dalam anggaran dasar, tapi dia bisa jadi tidak muncul dalam anggaran dasar dan manfaatnya dia terima,” katanya dalam acara InfobankTalknews secara daring yang bertema "Membongkar Kejahatan Korporasi di Sektor Keuangan" belum lama ini.
Baca Juga: Menang di Pengadilan, Pengamat: Kasus Michael Steven 'Aneh Bin Ajaib'
Mantan wakil menteri hukum dan HAM itu bilang, sebenarnya modus penerima manfaat sudah diantisipasi. Sayangnya, tidak sedikit oknum penegak hukum yang tidak paham, tutup mata, atau bahkan mengenyampingkan ketentuan tersebut.
Dari sisi hukum terkait kasus Michael Steven sebagai buron, kata Denny, pelaku kejahatan yang “melarikan diri” semestinya diberikan pengetatan dalam melakukan upaya hukum. Jika pengadilan tidak berani mengambil sikap demikian, maka buron dengan bebas lari dari tanggung jawabnya terhadap proses penegakan hukum.
“Dalam kajian ilmu hukum yang telah diperbincangkan secara global, dikenal doktrin fugitive disentitlement, yaitu konsep untuk membatasi hak “penjahat” dalam melakukan pembelaan hukum pada situasi tertentu. Bila mencermati ketentuan domestik, Mahkamah Agung telah menetapkan sejumlah surat edaran yang mengandung pembatasan hak bagi buronan, misalnya larangan bagi DPO untuk mengajukan upaya praperadilan dalam SEMA 1/2018,” jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement