Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Pada RPMK Ancam Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Baru
Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dinilai dapat menekan penerimaan negara hingga mengancam pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan oleh pemerintahan baru.
Subdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Ari Kusuma, mengatakan dari empat pilar dalam penyusunan kebijakan produksi hasil tembakau, ekosistem pertembakauan di Indonesia harus diperhatikan secara keseluruhan.
Sebab, jelas Ari, peran dari tembakau tidak main-main, di mana cukai hasil tembakau (CHT) menyumbang sekitar 12,2% dari total keseluruhan penerimaan pajak negara. Menurutnya, nilai tersebut cukup besar jika dilihat kontribusinya dari satu sektor saja.
“Dengan begitu, sektor ini harus diperhitungkan ketika membuat kebijakan dan perlu melibatkan banyak pihak, tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja,” ungkapnya dalam diskusi publik INDEF bertajuk "Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram" di Jakarta, Senin (23/09).
Ari juga memaparkan perkembangan penyebaran rokok ilegal pada periode 2022-2023, yakni dari 5,5% meningkat menjadi 6,9%. Artinya, ada tantangan lainnya yang harus dihadapi oleh pemerintah jika aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini diterapkan, mulai dari pemberantasan rokok ilegal dan berbagai tantangan dari sisi penerimaan dan penurunan produksi.
“Kami melihat adanya tantangan dari sisi penerimaan dan akan mempengaruhi penurunan produksi yang pada gilirannya mempengaruhi penerimaan cukai. Tantangannya juga cukup besar. Ini akan menjadi PR buat kami untuk melakukan optimalisasi dari penerimaan CHT. Kemudian, adanya perubahan pola konsumsi masyarakat hingga maraknya rokok ilegal, sehingga perlu menyusun parameter-parameter dalam perhitungan target penerimaan ke depan," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, berpendapat bahwa selain kurangnya transparansi dan partisipasi dari pemangku kepentingan terkait, PP 28/2024 maupun RPMK dapat memberikan efek negatif berganda bahkan tiga kali lipat jika melihat target penerimaan cukai yang masih belum tercapai selama tiga tahun terakhir.
“Secara agregat ini menjadi catatan kritis ketika Oktober nanti dan tahun depan sudah berganti pemerintahan baru yang sangat membutuhkan support anggaran. Ini akan jadi pertanyaan karena saya kira ini dapat menjadi isu yang kuat. Jika Permenkes diberlakukan, maka akan terjadi hal yang dikhawatirkan bukan hanya pada penerimaan, tapi juga pada pekerja, industri, dan lainnya,” tegasnya.
Tauhid menekankan pemerintah baru, terutama Menteri Keuangan, akan mengalami tantangan akibat adanya aturan kemasan rokok polos tanpa merek dari pemerintahan saat ini. Aturan tersebut dianggap kian mengkhawatirkan penerimaan negara yang semakin sulit diperoleh.
Berdasarkan hasil studi dampak dari penerapan PP 28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang dilakukan INDEF melalui tiga skenario kebijakan terkait industri rokok, yaitu rencana kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta pembatas iklan rokok luar ruang dalam radius 500 meter dan pembatasan iklan TV dan online, menyimpulkan bahwa aturan-aturan tersebut berpotensi menghilangkan dampak ekonomi sebesar Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB.
Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan akan kehilangan sebesar Rp160,6 triliun atau setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional. Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor industri tembakau dan produk turunannya atau 1,6% dari total penduduk bekerja. Lalu, jika menilik secara lebih mendalam perhitungan dampak dari aturan kemasan rokok polos tanpa merek didapatkan potensi dampak ekonomi yang hilang adalah sebesar Rp182,2 triliun, sementara penerimaan perpajakan dapat menurun hingga Rp95,6 triliun.
“Karena itu kami merekomendasikan PP 28/2024 ini harus direvisi, termasuk membatalkan RPMK khususnya pasal yang dinilai akan memberikan dampak ke perekonomian negara. Jika tidak, maka ini akan memberatkan situasi yang terjadi,” tuturnya.
Selain itu, Tauhid mendorong agar seluruh kementerian/lembaga terkait seperti Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, dan lainnya agar terlibat dalam pengambilan keputusan bersama dengan mempertimbangkan empat pilar terkait. “Karena jika tidak mempertimbangkan pilar lain, maka tidak akan lahir kebijakan yang adil,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement