Kusumayati Terdakwa Kasus Pemalsuan Tanda Tangan Belum Ditahan, Aktivis Hukum Bandingkan dengan Nenek Minah
Menjelang sidang tuntutan kasus dugaan pemalsuan tanda tangan Surat Keterangan Waris (SKW), terdakwa Kusumayati hingga kini belum menjalani penahanan.
Hal ini memicu reaksi dari berbagai pihak, termasuk aktivis hukum yang mempertanyakan proses penegakan hukum dalam kasus tersebut.
A. Badjuri, seorang aktivis hukum asal Karawang, menyampaikan keprihatinannya terkait perlakuan yang diterima terdakwa. Menurutnya, dalam penegakan hukum, seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan antara satu terdakwa dengan terdakwa lainnya.
"Ini dari awal saya perhatikan, karena saya pernah beberapa kali juga hadir langsung dalam persidangan. Kenapa bisa terdakwa diperlakukan istimewa menurut saya," kata Abad saat dihubungi awak media, Selasa (24/9/2024).
Terdakwa Kusumayati dilaporkan atas dugaan pemalsuan tanda tangan anaknya, Stephanie, yang melanggar Pasal 263 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang pemalsuan dokumen, yang termasuk dalam kategori tindak pidana berat.
"Iya kan terdakwa dilaporkannya atas tuduhan pasal 263 KHUP, pasal itu dong yang sekarang disidangkan, kenapa diistimewakan sampai sekarang belum juga ditahan. Giliran orang kecil maling ayam langsung ditahan, kan ini aneh, apa karena terdakwa orang kaya?" kata dia.
Selain mempertanyakan ketidakhadiran penahanan, Badjuri juga mengkritik tindakan terdakwa dan tim kuasa hukumnya yang aktif membagikan informasi terkait kasus ini di media sosial. Ia menyebut tindakan tersebut dapat merugikan pelapor dan mencederai integritas peradilan.
"Sudah gitu, terdakwa sama kuasa hukumnya, aktif kesana kemari nyebar informasi diminta Rp 500 miliar lah, apa lah, yang sama sekali nggak ada hubungannya sama perkara, bolak-balik podcast sana-sini. Bukan hanya merugikan pelapor, tapi dengan sikap terdakwa yang seperti itu juga merusak marwah peradilan," tegasnya.
Badjuri kemudian membandingkan perlakuan yang diterima terdakwa Kusumayati dengan kasus-kasus lain. Ia menyebut contoh ibu-ibu yang dipenjara karena aksi demonstrasi di Sumatera Utara serta kasus Nenek Minah di Banyumas yang dituduh mencuri tiga buah kakao pada tahun 2009. Kedua kasus tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa orang dengan pelanggaran ringan sering kali langsung ditahan, sementara terdakwa dengan pasal berat justru tidak.
"Kita bisa melihat kasus lain, seperti ibu-ibu yang dipenjara akibat demonstrasi yang diatur oleh undang-undang, atau kasus Nenek Minah yang hanya dituduh mencuri tiga buah kakao. Mereka langsung ditahan, meskipun pelanggaran mereka tergolong ringan," kata Badjuri.
"Nenek Minah tetap dipenjara, dengan tuduhan mencuri 3 buah kakao, padahal saat itu dia sendiri tidak tahu bahwa pohon itu milik perusahaan, dan buah yanh diambilnya juga tidak dibawa, tetap saja dia dipenjara," ucapnya.
Baca Juga: Kasus Pemalsuan Tanda Tangan, Penyidik Polda Metro Jaya Tegaskan Kusumayati Diperiksa Sesuai SOP
Namun, keanehan proses hukum itu terjadi pada seorang terdakwa Kusumayati, yang sudah jelas-jelas melakukan tindak pidana sehingga merugikan korban meskipun anaknya sendiri.
Di sisi lain, kuasa hukum Kusumayati, Ika Rahmawati, menegaskan bahwa sejak awal pihaknya telah berusaha mencari solusi melalui mediasi, mengingat kasus ini melibatkan hubungan keluarga antara ibu dan anak.
"Kami sudah melakukan mediasi sejak awal pelaporan, baik dengan kuasa hukum pelapor maupun dengan ibu Stephanie. Upaya ini terus kami lakukan demi menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan," jelas Ika.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement