Transisi Energi ASEAN: Masih Tergantung Batubara, Potensi Surya dan Angin Terbuka
Contohnya, faktor kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di semenanjung Malaysia dan Singapura yang mencapai puncak 20% pada Januari-April, selaras dengan kapasitas faktor pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Indonesia yang mencapai 30% pada Mei-Oktober. Kondisi ini membantu menyeimbangkan permintaan dan pasokan listrik lintas negara.
Saat ini, dari 18 rencana jaringan listrik lintas negara, delapan jaringan sudah selesai dibangun dan memungkinkan ekspor listrik hingga 7,7 gigawatt (GW). Jaringan listrik yang menghubungkan Laos, Thailand, Malaysia, hingga Singapura jadi tonggak penting kerja sama energi regional ASEAN. ASEAN Power Grid berikutnya yang disasar yakni jaringan listrik lintas Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Baca Juga: NPC Indonesia Bersiap Hadapi ASEAN Para Games 2026
Interkoneksi jaringan listrik yang lebih baik, pemanfaatan baterai penyimpanan, dan adopsi teknologi inovatif yang mendukung fleksibilitas hijau, dapat menopang transisi energi di ASEAN. Hal ini juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, dan keberlanjutan.
“Transisi ASEAN ke energi terbarukan menjanjikan dibukanya lapangan kerja baru, ketahanan energi yang lebih kuat, dan pertumbuhan ekonomi. Upaya bersama melalui program interkoneksi dan kerja sama internasional menawarkan solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi regional ini,” kata Dinita.
Pekerjaan yang muncul dari transisi energi akan menguntungkan negara-negara produsen batu bara. Di Indonesia, sektor energi terbarukan dapat menghasilkan 96 ribu pekerjaan baru di daerah penghasil batu bara. Dengan realokasi dan pelatihan ulang, lebih dari 1 juta pekerjaan baru bisa menggantikan 31 ribu pekerjaan yang hilang akibat transisi energi.
Bioenergi Mahal
Di ASEAN, bioenergi dilihat sebagai energi terbarukan yang mempunyai potensi signifikan untuk mengembangankan ekonomi. Namun, laporan EMBER juga mencatat, biaya rata-rata produksi listrik bioenergi tercatat yang paling mahal dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya.
Biaya bioenergi bisa empat kali lebih mahal dari biaya energi air di beberapa negara. Sebagai contoh, biaya pembangkit listrik berbasis biomassa di Indonesia, Malaysia, dan Thailand berkisar USD 59-98 per megawatt hour (MWh), lebih mahal dari biaya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Laos yang hanya USD 25/MWh.
Baca Juga: Airlangga: ASEAN Mesti Kompak Lawan EUDR
Di Indonesia, biaya bioenergi bisa lebih mahal karena adanya pembakaran dan teknologi biomassa yang utamanya berasal dari limbah perkebunan, seperti residu minyak sawit. Dengan rata-rata biaya konstruksi hingga USD 4.400 per megawatt elektrik (MWe), biaya rata-rata listrik bioenergi bisa menyentuh USD 87/MWh, menunjukkan tantangan finansial bioenergi dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement