Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan adanya tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan seluas 3,2 juta hektare dengan subjek hukum sebesar 3.235.
Adapun subjek hukum tersebut terdiri dari 1.063 Koperasi/Poktan (Sawit Rakyat) dan 2.172 Perusahaan Kelapa Sawit. Adapun potensi kerugian negara dari tindakan yang ditimbulkan adalah Rp76,8 triliun.
Baca Juga: Harga Minyak Sawit Masih Fluktuatif, Investor Ambil Untung
Yeka menjelaskan bahwa untuk mengungkapkan serta menentukan potensi tumpang tindih di perkebunan sawit, pihaknya menggunakan metode irisan overlay. Adapun yang dimaksud dengan irisan overlay yakni salah satu teknik yang digunakan dalam proses penggabungan dua atau lebih lapisan peta dalam Sistem Informasi Geografis (SIG).
Pihaknya juga menyebut bahwa aspek lahan perkebunan kelapa sawit mengalami potensi kerugian lantaran adanya penurunan produksi tandan buah kelapa sawit (TBS) akibat dari tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan.
“Ada tumpang tindih regulasi. Ada banyak peraturan yang membuat masyarakat bingung akan regulasi perizinan pengelolaan lahan kelapa sawit ini. Ketidakjelasan ini akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada sistem yang ada,” ujar Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Menurut keterangan Yeka, luas lahan perkebunan kelapa sawit yang terindikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan seluas 3,2 juta hektare. Yang mana 2 juta di antaranya berpotensi dikembalikan menjadi hutan. Sehingga, tidak menutup kemungkinan jika nantinya luas lahan sawit bakal mengalami penyusutan luasan.
Alhasil, produktivitas TBS nasional pun akan berdampak lantaran adanya penyusutan lahan tersebut. Yeka pun memperkirakan jika potensi nilai kerugian dari berkurangnya produksi TBS nasional lantaran penyusutan lahan perkebunan kelapa sawit, dengan produktivitas lahan rata-rata 12.8 ton per hektare pada harga TBS Rp3.000 per kg senilai Rp76,8 triliun per tahun pada masa mendatang.
“Estimasi kerugian mencapai Rp76,8 triliun per tahun, pemerintah perlu memperhatikan tata kelola lahan perkebunan sawit, dan percepatan,” ungkapnya.
Tak hanya itu, menurut Yeka, pihaknya juga menemukan fakta lapangan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau, banyak perkebunan sawit rakyat yang dinyatakan masuk dalam kawasan hutan padahal sudah memiliki Hak Atas Tanah (HAT).
Maka dari itu, ujar Yeka, dia menilai jika permasalahan tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan bisa diselesaikan dengan cara mengutamakan kepemilikan lahan. Salah satunya bisa dengan penerbitan bukti kepemilikan HAT maupun pengakuan hukum yang sah lainnya.
Baca Juga: Makin Dekat, Petani Kelapa Sawit Diminta Bijak di Pilkada 2024
“Dalam hal ini, terhadap lahan pekebun sawit rakyat yang telah memiliki hak atas tanah perlu segera dikeluarkan dari kawasan hutan,” tutur Yeka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement