Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tarif PPh Final UMKM Akan Berakhir di Tahun 2024, Bagaimana Dampaknya?

Tarif PPh Final UMKM Akan Berakhir di Tahun 2024, Bagaimana Dampaknya? UMKM | Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Bandung -

Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menikmati tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5%. 

Namun, aturan ini bersifat sementara. Masa berlaku maksimalnya adalah tujuh tahun untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi, empat tahun untuk WP Badan seperti CV dan koperasi, serta tiga tahun untuk WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

Hal ini berarti UMKM yang telah berdiri sejak 2018 akan mulai dikenakan tarif pajak progresif pada 2025, sedangkan UMKM yang terdaftar pada 2020 masih dapat memanfaatkan tarif final hingga 2026.

Dosen Akuntansi Perpajakan Universitas Padjadjaran (UNPAD), Retta Farah Pramesti mengatakan perubahan ini akan berdampak pada 1,23 juta pelaku UMKM di Indonesia. 

Setelah masa tarif PPh Final berakhir, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). 

Baca Juga: Nobu Bank dan SRCIS Luncurkan Program KRUPUK, Permudah UMKM Toko Kelontong Akses Modal 

"Metode ini memungkinkan perhitungan pajak berdasarkan persentase tertentu dari omzet bruto sesuai jenis usaha. Namun, pemberitahuan penggunaan NPPN wajib disampaikan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebelum pelaporan SPT pada Maret 2025," kata Retta kepada wartawan di Bandung, Senin (18/11/2024).

UMKM dengan omzet di atas Rp4,8 miliar, atau yang memilih tidak menggunakan NPPN, akan dikenakan pajak berdasarkan tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, dengan rincian:

  • 5% untuk penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta,
  • 15% untuk Rp60 juta–Rp250 juta,
  • 25% untuk Rp250 juta–Rp500 juta,
  • 30% untuk Rp500 juta–Rp1 miliar,
  • 35% untuk lebih dari Rp1 miliar.

Retta mencontohkan, sebuah UMKM dengan omzet Rp5 miliar setahun yang sebelumnya hanya dikenai pajak Rp25 juta dengan tarif final 0,5%, kini dapat dikenakan pajak progresif hingga Rp244 juta jika menggunakan tarif Pasal 17.

“Ini jelas menjadi tantangan besar, terutama bagi UMKM yang masih dalam tahap berkembang,” katanya.

Studi menunjukkan, PP 23/2018 berhasil meningkatkan kepatuhan WP UMKM dengan memberikan kemudahan beradaptasi terhadap sistem perpajakan modern. Di KPP Pratama Semarang Barat, misalnya, penerimaan pajak dari sektor usaha kuliner, fashion, dan pertanian meningkat signifikan sejak tarif final diberlakukan.

Baca Juga: 85 Persen UMKM Alamin Stagnasi, UMKM Insight Punya Solusinya

Namun, peningkatan beban pajak progresif pada 2025 dapat memengaruhi arus kas UMKM. Selain itu, UMKM juga diharuskan meningkatkan kapasitas administrasi dan pembukuan untuk mematuhi aturan perpajakan yang lebih kompleks.

Retta menekankan pentingnya persiapan bagi UMKM dalam menghadapi perubahan ini, termasuk dalam pembukuan yang lebih rinci dan perencanaan keuangan yang matang.

Ke depan, adaptasi terhadap tarif progresif akan menjadi ujian penting bagi pelaku UMKM untuk tetap kompetitif sekaligus patuh terhadap peraturan perpajakan.

“DJP perlu meningkatkan sosialisasi dan pendampingan agar pelaku UMKM memahami perubahan aturan ini tanpa mengganggu kelangsungan usaha mereka,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: