Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

WSN: Membenahi Industri Kelapa Sawit Lebih Penting Ketimbang Menambah Luas

WSN: Membenahi Industri Kelapa Sawit Lebih Penting Ketimbang Menambah Luas Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wartawan Sawit Nusantara (WSN) meminta Presiden Prabowo Subianto untuk tidak terburu-buru membuat kebijakan untuk menambah luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sebab dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini, bila dikelola dengan baik, sebenarnya akan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Ketua Umum WSN, Abdul Aziz, mengatakan, berdasarkan data terbaru Kementerian Pertanian, saat ini ada sekitar 17,3 juta hektar kebun kelapa sawit yang tersebar di 31 provinsi yang ada di Indonesia. Angka ini melonjak dari 16,83 juta hektar pada 2022.

“Namun luasan ini hanya bisa menghasilkan sekitar 45 juta ton Crude Palm Oil (CPO) dalam setahun. Jika diasumsikan rendemen rata-rata Tandan Buah Segar adalah 20% per kilogram, ini berarti produksi TBS kita hanya sekitar 225 juta ton per tahun. Nah, kalau produksi ini dibagi dengan luasan, kita ambil saja luasannya 16,83 juta hektar, berarti produksi TBS kita per hektar per tahunnya, hanya sekitar 13,4 ton. Sama saja dengan sekitar 1,1 ton per hektar per bulan. Ini sangat kecil,” lelaki 49 tahun ini mengurai.

Mestinya kata Aziz, produksi TBS per hektar itu bisa di angka 3-4 ton per hektar per bulan. Ini kelihatan dari bukti-bukti yang didapat oleh WSN di beberapa daerah di Indonesia seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.

“Kami mendapati di daerah-daerah ini, kebun kelapa sawit hasil Program Peremajaan Sawit Rakyat (P-PSR), produksi per hektar per bulannya telah mencapai angka segitu dan bahkan ada yang mencapai 5-6 ton per hektar per bulan. Ini berarti, bila dikelola dengan baik, hasilnya juga akan bagus kan?” katanya.

Kalau kemudian produksi TBS telah mencapai 3 ton per hektar per bulan, ini berarti produksi CPO nasional kata Aziz sudah tiga kali lipat dari produksi saat ini. “Produksi CPO kita sudah akan mencapai 135 juta ton per tahun. Itu bila rendemen rata-rata yang didapat hanya 20% per kilogram TBS. Kalau rendemen TBS hasil PSR biasanya lebih. Tapi kita ambil saja 20% itu. Nah, CPO sebanyak ini saya pastikan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, termasuk itu untuk kebutuhan bauran biodiesel B50 yang membutuhkan CPO sekitar 15 juta ton per tahun,” bebernya.

Sebenarnya kata Aziz, kalau merujuk pada Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2019, mestinya produksi TBS nasional sudah melonjak tajam. Sebab di saat itu, Kementerian Pertanian telah pula mengeluarkan data bahwa ada sekitar 2,7 juta hektar kebun kelapa sawit rakyat yang sudah musti diremajakan. Angka ini belum termasuk luasan lahan sawit perusahaan yang juga akan menjalani peremajaan.

“Namun apa yang terjadi dengan lahan yang 2,7 juta hektar itu? Dari 2017-2024, kebun sawit yang telah menjalani peremajaan, hanya 334.834 hektar.

Ini berarti masih ada lebih dari 2,3 juta hektar lagi kebun sawit rakyat yang harus diremajakan. Kok bisa luasan peremajaan hanya segitu? Mestinya ini dulu lah yang diberesi oleh Presiden Prabowo,” pinta Aziz.

Baca Juga: Ratusan Tahun Menyejahterakan Petani, Industri Sawit Diharapkan Patuh Sertifikasi ISPO

Sebab dengan 2,3 juta hektar itu saja rampung diremajakan lanjut Aziz, empat tahun tahun kemudian produksi TBS dari lahan seluas itu sudah mencapai 82,8 juta ton dalam setahun. Ini setara dengan 16,56 juta ton CPO dalam setahun bila rendemen rata-ratanya hanya 20%.

“Sudah berapa banyak keluarga petani yang sejahtera bila peremajaan itu segera dilakukan dan kemudian kebunnya dirawat dengan baik. Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa peremajaan sawit rakyat itu teramat sulit dituntaskan? Itu lantaran teramat banyak pula sebenarnya persoalan yang terjadi di industri kelapa sawit kita, khususnya pada petani sawit,” katanya.

Persoalan pertama menurut Aziz, selama ini petani teramat sulit mengakses pupuk dan kelengkapan lainnya demi merawat kebun untuk meningkatkan produksi. Petani sawit tidak boleh mengakses pupuk bersubsidi.

Persoalan kedua, teramat rumit persyaratan yang harus dipenuhi oleh petani sawit untuk bisa ikut program peremajaan sawit rakyat. Selain harus melengkapi legalitas, juga harus mendapatkan “lampu hijau” dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kehutanan terkait tidak tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak berada di kawasan hutan.

“Syarat-syarat semacam ini merepotkan petani yang secara logika saja, telah mengelola lahannya lebih dari 25 tahun. Biasanya kan lahan yang akan diremajakan itu kebun yang berumur lebih dari 25 tahun. Kalau selama 25 tahun enggak ada persoalan, kenapa kemudian dipersoalkan,” katanya.

Lalu persoalan berikutnya, petani sawit teramat sulit mengakses penyuluh perkebunan kelapa sawit, sebab selama ini penyuluh yang ada hanya penyuluh sektor pertanian tanaman pangan.

“Ada juga petani ini yang tidak bisa ikut PSR lantaran kebunnya diklaim dalam kawasan hutan. Data yang kami dapatkan, lebih dari 1,5 juta hektar kebun sawit rakyat diklaim dalam kawasan hutan,” ujar Aziz.

Terkait klaim kawasan hutan ini, WSN juga meminta agar Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni tidak gegabah membuat pernyataan menyediakan 20 juta hektar hutan untuk mendukung pangan dan energi.

Baca Juga: Sultan Sebut Sawit Bisa Jadi Modal Soft Power Indonesia Dalam Geopolitik Global

“Kami minta Pak Menteri jangan Asal Bapak Senang (ABS). Beresi dulu pengukuhan kawasan hutan itu sesuai dengan pasal 14 dan 15 Undang-undang 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jangan justru mengklaim lahan-lahan rakyat menjadi kawasan hutan. Yang kami temukan seperti itu, banyak kebun-kebun rakyat yang sudah dikuasai lebih dari 25 tahun diklaim menjadi kawasan hutan. Sementara sampai sekarang tidak jelas pengukuhan kawasan hutan di negara ini seperti apa,” katanya.

Kalau memang Menteri Kehutanan mendukung keinginan Presiden Prabowo kata Aziz, lepaskan itu hak-hak masyarakat dari klaim kawasan hutan agar lahan-lahan itu bisa bernilai ekonomis untuk mendukung usaha rakyat.

“Intinya, kami sangat berterimakasih Presiden Prabowo telah peduli dengan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit Nasional. Namun bukan berarti harus menambah luasan perkebunan kelapa sawit. Kalau persoalan pada lahan yang sudah eksisting diberesi, saya yakin misi ketahanan pangan dan energi yang diusung Presiden Prabowo, akan tercapai sebelum masa jabatan lima tahun pertamanya usai, saya yakin itu,” Aziz optimis. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel:

Berita Terkait