Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebijakan Sawit Prabowo Disorot: Hilirisasi Terganjal Regulasi, Investor Butuh Kepastian

Kebijakan Sawit Prabowo Disorot: Hilirisasi Terganjal Regulasi, Investor Butuh Kepastian Kredit Foto: Dok. ANJ.
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto dalam membenahi tata kelola industri kelapa sawit mendapat sorotan dari berbagai pihak.

Para pakar menilai jika upaya tersebut wajib diikuti dengan kepastian hukum serta konsistensi regulasi agar dapat mendorong hilirisasi serta mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% seperti selama ini ia gembar-gemborkan.

Guru Besar IPB University, Budi Mulyanto mendukung gagasan Prabowo terkait swasembada energi dan perluasan perkebunan sawit.

Dia menilai jika selama ini sawit yang merupakan komoditas strategis tidak hanya berperan dalam perekonomian nasional, tetapi juga sebagai penyerap karbon yang baik.

"Jika ingin membangun sektor pangan dan energi, Indonesia harus mengelola sawitnya dengan baik. Perluasan lahan sawit masih sangat mungkin dilakukan, terutama di lahan marjinal yang belum tergarap optimal. Ini tidak ada hubungannya dengan deforestasi," ujar Budi dalam diskusi bertajuk “100 Hari Pemerintahan Prabowo – Gibran: Industri Sawit Dibawa ke Mana?”, Rabu (12/2/2025).

Baca Juga: Bos Sinar Mas Ungkap Keberlanjutan Industri Sawit Tak Bisa Jadi Tanggung Jawab Pemerintah

Akan tetapi, menurut Pakar Hukum Pertanahan, Sadino, langkah perluasan sawit tersebut dihadapkan pada hambatan regulasi. Dirinya menyoroti keberadaan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 yang membatasi ekspansi perkebunan sawit. Dia menilai jika aturan itu perlu ditinjau ulang agar investasi di sektor ini dapat berkembang strategis.

"Kalau ingin menambah luas lahan sawit, Inpres 5/2019 harus dicabut atau direvisi. Selain itu, PP No. 36/2024 juga memberatkan investor karena biaya penggunaan lahan yang tinggi. Ini bisa menghambat investasi di sektor pertanahan," jelas Sadino.

Di sisi lain, Peneliti dari INDEF, Tauhid Ahmad, menjabarkan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas dengan dampak ekonomi terbesar dibandingkan dengan sektor lain. Maka dari itu, dia menekankan perlunya peningkatan produksi, terutama karena permintaan biodiesel terus meningkat di pasar global.

"Produksi sawit saat ini sedang mengalami penurunan. Pemerintah perlu mencari solusi agar sektor ini kembali tumbuh, terutama dengan menggenjot produksi dan ekspansi lahan," ungkap Tauhid.

Baca Juga: Wamentan Singgung Pemulihan Ekosistem Industri Kelapa Sawit di ICOPE 2025

Senada dengan itu, Pengamat Industri Hilir Sawit, Sahat Sinaga, menegaskan bahwa Indonesia harus meningkatkan nilai tambah sawit. Menurutnya, harga minyak sawit mentah saat ini masih berkisar 800-900 dolar AS per ton, sedangkan potensinya bisa mencapai 3.000 dolar AS per ton dengan strategi hilirisasi yang tepat.

"Kuncinya ada di hulu. Jika produksi sawit meningkat dari 52,4 juta ton menjadi 70,5 juta ton pada 2029, nilai tambahnya juga akan meningkat pesat. Selain itu, penyelesaian legalitas lahan perkebunan rakyat juga harus segera dituntaskan," kata Sahat.

Lebih lanjut, Ketua Pelaksana Diskusi, Qayuum Amri, menyambut baik pernyataan Presiden Prabowo yang menegaskan bahwa kelapa sawit merupakan aset strategis negara. Namun, ia mengingatkan bahwa kepastian hukum dan jaminan investasi tetap menjadi faktor utama dalam menjaga keberlanjutan industri sawit di Indonesia.

"Pelaku usaha sawit merasa lebih optimistis dengan dukungan pemerintah, tetapi mereka juga membutuhkan kepastian hukum dan perlindungan investasi agar sektor ini bisa terus berkembang," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: